BAB I
MUHAMMADIYAH
A.
SEJARAH
BERDIRINYA MUHAMMADIYAH
Muhammadiyah didirikan di Kampung Kauman
Yogyakarta, pada tanggal 8 Dzulhijjah 1330 H/18 Nopember 1912 oleh seorang yang
bernama Muhammad Darwis, kemudian dikenal dengan KHA Dahlan .
Beliau adalah pegawai kesultanan Kraton Yogyakarta sebagai seorang
Khatib dan sebagai pedagang. Melihat keadaan ummat Islam pada waktu itu dalam
keadaan jumud, beku dan penuh dengan amalan-amalan yang bersifat mistik, beliau
tergerak hatinya untuk mengajak mereka kembali kepada ajaran Islam yang
sebenarnya berdasarkan Qur`an dan Hadist. Oleh karena itu beliau memberikan
pengertian keagamaan dirumahnya ditengah kesibukannya sebagai Khatib dan para
pedagang.
Mula-mula ajaran ini ditolak, namun berkat ketekunan dan kesabarannya,
akhirnya mendapat sambutan dari keluarga dan teman dekatnya. Profesinya sebagai
pedagang sangat mendukung ajakan beliau, sehingga dalam waktu singkat ajakannya
menyebar ke luar kampung Kauman bahkan sampai ke luar daerah dan ke luar pulau
Jawa. Untuk mengorganisir kegiatan tersebut maka didirikan Persyarikatan
Muhammadiyah. Dan kini Muhammadiyah telah ada diseluruh pelosok tanah air.
Disamping memberikan pelajaran/pengetahuannya kepada laki-laki, beliau
juga memberi pelajaran kepada kaum Ibu muda dalam forum pengajian yang disebut
"Sidratul Muntaha". Pada siang hari pelajaran untuk anak-anak
laki-laki dan perempuan. Pada malam hari untuk anak-anak yang telah dewasa.
Disamping memberikan kegiatan kepada laki-laki, pengajian kepada ibu-ibu
dan anak-anak, beliau juga mendirikan sekolah-sekolah. Tahun 1913 sampai tahun
1918 beliau telah mendirikan sekolah dasar sejumlah 5 buah, tahun 1919
mendirikan Hooge School Muhammadiyah ialah sekolah lanjutan. Tahun 1921 diganti
namnaya menjadi Kweek School Muhammadiyah, tahun 1923, dipecah menjadi dua,
laki-laki sendiri perempuan sendiri, dan akhirnya pada tahun 1930 namnaya
dirubah menjadi Mu`allimin dan Mu`allimat.
Muhammadiyah mendirikan organisasi untuk kaum perempuan dengan Nama
'Aisyiyah yang disitulah Istri KH. A. Dahlan, Nyi Walidah Ahmad Dahlan berperan serta aktif
dan sempat juga menjadi pemimpinnya.
KH A Dahlan memimpin Muhammadiyah dari tahun 1912 hingga tahun 1922
dimana saat itu masih menggunakan sistem permusyawaratan rapat tahunan. Pada rapat
tahun ke 11, Pemimpin Muhammadiyah dipegang oleh KH Ibrahim yang kemudian
memegang Muhammadiyah hingga tahun 1934.Rapat Tahunan itu sendiri kemudian berubah
menjadi Konggres Tahunan pada tahun 1926 yang di kemudian hari berubah menjadi
Muktamar tiga tahunan dan seperti saat ini Menjadi Muktamar 5 tahunan.
B. KH. AHMAD DAHLAN
|
Andai saja pada tahun 1868 tidak lahir seorang bayi yang
bernama Muhammad Darwisy (ada literatur yang menulis nama Darwisy saja),
Kampung Kauman di sebelah barat alun-alun utara Yogyakarta tetaplah tidak
memiliki keistimewaan lain, selain sebagai sebuah pemukiman di sekitar Masjid
Besar Yogyakarta. Sejarah telah mencatat lain. Kampung Kauman menjadi sebuah
nama besar sebagai kampung kelahiran seorang Pahlawan Kemerdekaan Nasional
Indonesia, Kiai Haji Ahmad Dahlan, dan lahirnya Persyarikatan Muhammadiyah pada
8 Dzulhijjah 1330 Hijriyah yang bertepatan dengan 18 November 1912.
Muhammad Darwisy dilahirkan dari kedua orang tuanya, yaitu KH. Abu Bakar
(seorang ulama dan Khatib terkemuka di Mesjid Besar Kesultanan Yogyakarta) dan
Nyai Abu Bakar (puteri dari H. Ibrahim yang menjabat sebagai penghulu
kesultanan juga). Ia merupakan anak ke-empat dari tujuh orang bersaudara yang
keseluruhanya saudaranya perempuan, kecuali adik bungsunya. Dalam silsilah ia
termasuk keturunan yang kedua belas dari Maulana Malik Ibrahim, seorang wali
besar dan seorang yang terkemuka diantara Wali Songo, yang merupakan pelopor
pertama dari penyebaran dan pengembangan Islam di Tanah Jawa (Kutojo dan
Safwan, 1991). Adapun silsilahnya ialah Muhammad Darwisy (Ahmad Dahlan) bin KH.
Abu Bakar bin KH. Muhammad Sulaiman bin Kiyai Murtadla bin Kiyai Ilyas bin
Demang Djurung Djuru Kapindo bin Demang Djurung Djuru Sapisan bin Maulana
Sulaiman Ki Ageng Gribig (Djatinom) bin Maulana Muhammad Fadlul'llah (Prapen)
bin Maulana 'Ainul Yaqin bin Maulana Ishaq bin Maulana Malik Ibrahim (Yunus
Salam, 1968: 6).
Muhammad Darwisy dididik dalam lingkungan pesantren sejak kecil yang
mengajarinya pengetahuan agama dan bahasa Arab. Ia menunaikan ibadah haji
ketika berusia 15 tahun (1883), lalu dilanjutkan dengan menuntut ilmu agama dan
bahasa arab di Makkah selama lima tahun. Di sinilah ia berinteraksi dengan
pemikiran-pemikiran pembaharu dalam dunia Islam, seperti Muhammad Abduh,
al-Afghani, Rasyid Ridha, dan ibn Taimiyah. Buah pemikiran tokoh-tokoh Islam
ini mempunyai pengaruh yang besar pada Darwisy. Jiwa dan pemikirannya penuh
disemangati oleh aliran pembaharuan ini yang kelak kemudian hari menampilkan
corak keagamaan yang sama, yaitu melalui Muhammadiyah, yang bertujuan untuk
memperbaharui pemahaman keagamaan (ke-Islaman) di sebagian besar dunia Islam
saat itu yang masih bersifat ortodoks (kolot). Ortodoksi ini dipandang
menimbulkan kebekuan ajaran Islam, serta stagnasi dan dekadensi
(keterbelakangan) ummat Islam. Oleh karena itu, pemahaman keagamaan yang statis
ini harus dirubah dan diperbaharui, dengan gerakan purifikasi atau pemurnian
ajaran Islam dengan kembali kepada al-Qur'an dan al-Hadits.
Pada usia 20 tahun (1888), ia kembali ke kampungnya, dan berganti nama
Ahmad Dahlan. Sepulangnya dari Makkah ini, iapun diangkat menjadi khatib amin
di lingkungan Kesultanan Yogyakarta. Pada tahun 1902-1904, ia menunaikan ibadah
haji untuk kedua kalinya yang dilanjutkan dengan memperdalam ilmu agama kepada
beberapa guru di Makkah.
Sepulang dari Makkah, ia menikah dengan Siti Walidah, sepupunya sendiri,
anak Kyai Penghulu Haji Fadhil, yang kelak dikenal dengan Nyai Ahmad Dahlan,
seorang Pahlawanan Nasional dan pendiri Aisyiyah. Dari perkawinannya dengan
Siti Walidah, KH. Ahmad Dahlan mendapat enam orang anak yaitu Djohanah, Siradj
Dahlan, Siti Busyro, Irfan Dahlan, Siti Aisyah, Siti Zaharah (Kutojo dan
Safwan, 1991). Di samping itu, KH. Ahmad Dahlan pernah pula menikahi Nyai
Abdullah, janda H. Abdullah. Ia juga pernah menikahi Nyai Rum, adik Kyai
Munawwir Krapyak. KH. Ahmad Dahlan juga mempunyai putera dari perkawinannya
dengan Ibu Nyai Aisyah (adik Adjengan Penghulu) Cianjur yang bernama Dandanah.
Beliau pernah pula menikah dengan Nyai Yasin Pakualaman Yogyakarta (Yunus
Salam, 1968: 9).
Sebagai seorang yang sangat hati-hati dalam kehidupan sehari-harinya,
ada sebuah nasehat yang ditulisnya dalam bahasa Arab untuk dirinya sendiri,
yaitu :
"Wahai Dahlan, sungguh di depanmu ada bahaya besar dan
peristiwa-peristiwa yang akan mengejutkan engkau, yang pasti harus engkau
lewati. Mungkin engkau mampu melewatinya dengan selamat, tetapi mungkin juga
engkau akan binasa karenanya. Wahai Dahlan, coba engkau bayangkan seolah-olah
engkau berada seorang diri bersama Allah, sedangkan engkau menghadapi kematian,
pengadilan, hisab, surga, dan neraka. Dan dari sekalian yang engkau hadapi itu,
renungkanlah yang terdekat kepadamu, dan tinggalkanlah lainnya (diterjemahkan
oleh Djarnawi Hadikusumo).
|
|
Dari pesan itu tersirat sebuah
semangat yang besar tentang kehidupan akhirat. Dan untuk mencapai kehidupan
akhirat yang baik, maka Dahlan berpikir bahwa setiap orang harus mencari bekal
untuk kehidupan akhirat itu dengan memperbanyak ibadah, amal saleh, menyiarkan
dan membela agama Allah, serta memimpin ummat ke jalan yang benar dan
membimbing mereka pada amal dan perjuangan menegakkan kalimah Allah. Dengan
demikian, untuk mencari bekal mencapai kehidupan akhirat yang baik harus
mempunyai kesadaran kolektif, artinya bahwa upaya-upaya tersebut harus
diserukan (dakwah) kepada seluruh ummat manusia melalui upaya-upaya yang
sistematis dan kolektif.
Kesadaran seperti itulah yang menyebabkan Dahlan sangat merasakan
kemunduran ummat islam di tanah air. Hal ini merisaukan hatinya. Ia merasa
bertanggung jawab untuk membangunkan, menggerakkan dan memajukan mereka. Dahlan
sadar bahwa kewajiban itu tidak mungkin dilaksanakan seorang diri, tetapi harus
dilaksanakan oleh beberapa orang yang diatur secara seksama. Kerjasama antara
beberapa orang itu tidak mungkin tanpa organisasi.
Untuk membangun upaya dakwah (seruan kepada ummat manusia) tersebut,
maka Dahlan gigih membina angkatan muda untuk turut bersama-sama melaksanakan
upaya dakwah tersebut, dan juga untuk meneruskan dan melangsungkan cita-citanya
membangun dan memajukan bangsa ini dengan membangkitkan kesadaran akan
ketertindasan dan ketertinggalan ummat Islam di Indonesia. Strategi yang
dipilihnya untuk mempercepat dan memperluas gagasannya tentang gerakan dakwah
Muhammadiyah ialah dengan mendidik para calon pamongpraja (calon pejabat) yang
belajar di OSVIA Magelang dan para calon guru yang belajar di Kweekschool Jetis
Yogyakarta, karena ia sendiri diizinkan oleh pemerintah kolonial untuk
mengajarkan agama Islam di kedua sekolah tersebut. Dengan mendidik para calon
pamongpraja tersebut diharapkan akan dengan segera memperluas gagasannya
tersebut, karena mereka akan menjadi orang yang mempunyai pengaruh luas di
tengah masyarakat. Demikian juga dengan mendidik para calon guru yang
diharapkan akan segera mempercepat proses transformasi ide tentang gerakan
dakwah Muhammadiyah, karena mereka akan mempunyai murid yang banyak. Oleh
karena itu, Dahlan juga mendirikan sekolah guru yang kemudian dikenal dengan
Madrasah Mu'allimin (Kweekschool Muhammadiyah) dan Madrasah Mu'allimat
(Kweekschool Istri Muhammadiyah). Dahlan mengajarkan agama Islam dan tidak lupa
menyebarkan cita-cita pembaharuannya.
Di samping aktif dalam menggulirkan gagasannya tentang gerakan dakwah
Muhammadiyah, ia juga tidak lupa akan tugasnya sebagai pribadi yang mempunyai
tanggung jawab pada keluarganya. Ia dikenal sebagai salah seorang keturunan
bangsawan yang menduduki jabatan sebagai Khatib Masjid Besar Yogyakarta yang
mempunyai penghasilan yang cukup tinggi. Di samping itu, ia juga dikenal
sebagai seorang wirausahawan yang cukup berhasil dengan berdagang batik yang
saat itu merupakan profesi entrepreneurship yang cukup menggejala di
masyarakat.
Sebagai seorang yang aktif dalam kegiatan bermasyarakat dan mempunyai
gagasan-gagasan cemerlang, Dahlan juga dengan mudah diterima dan dihormati di
tengah kalangan masyarakat, sehingga ia juga dengan cepat mendapatkan tempat di
organisasi Jam'iyatul Khair, Budi Utomo, Syarikat Islam, dan Comite Pembela
Kanjeng Nabi Muhammad saw.
|
Pada tahun 1912, Ahmad Dahlan pun
mendirikan organisasi Muhammadiyah untuk melaksanakan cita-cita pembaharuan
Islam di bumi nusantara. Ahmad Dahlan ingin mengadakan suatu pembaharuan dalam
cara berpikir dan beramal menurut tuntunan agama Islam. Ia ingin mengajak ummat
Islam Indonesia untuk kembali hidup menurut tuntunan al-Qur'an dan al-Hadits.
Perkumpulan ini berdiri bertepatan pada tanggal 18 Nopember 1912. Dan sejak
awal Dahlan telah menetapkan bahwa Muhammadiyah bukan organisasi politik tetapi
bersifat sosial dan bergerak di bidang pendidikan.
Gagasan pendirian Muhammadiyah oleh Ahmad Dahlan ini juga mendapatkan
resistensi, baik dari keluarga maupun dari masyarakat sekitarnya. Berbagai
fitnahan, tuduhan dan hasutan datang bertubi-tubi kepadanya. Ia dituduh hendak
mendirikan agama baru yang menyalahi agama Islam. Ada yang menuduhnya kiai
palsu, karena sudah meniru-niru bangsa Belanda yang Kristen dan macam-macam tuduhan
lain. Bahkan ada pula orang yang hendak membunuhnya. Namun rintangan-rintangan
tersebut dihadapinya dengan sabar. Keteguhan hatinya untuk melanjutkan
cita-cita dan perjuangan pembaharuan Islam di tanah air bisa mengatasi semua
rintangan tersebut.
Pada tanggal 20 Desember 1912, Ahmad Dahlan mengajukan permohonan kepada
Pemerintah Hindia Belanda untuk mendapatkan badan hukum. Permohonan itu baru
dikabulkan pada tahun 1914, dengan Surat Ketetapan Pemerintah No. 81 tanggal 22
Agustus 1914. Izin itu hanya berlaku untuk daerah Yogyakarta dan organisasi ini
hanya boleh bergerak di daerah Yogyakarta. Dari Pemerintah Hindia Belanda
timbul kekhawatiran akan perkembangan organisasi ini. Itulah sebabnya
kegiatannya dibatasi. Walaupun Muhammadiyah dibatasi, tetapi di daerah lain
seperti Srandakan, Wonosari, dan Imogiri dan lain-lain tempat telah berdiri
cabang Muhammadiyah. Hal ini jelas bertentangan dengan dengan keinginan
pemerintah Hindia Belanda. Untuk mengatasinya, maka KH. Ahmad Dahlan
mensiasatinya dengan menganjurkan agar cabang Muhammadiyah di luar Yogyakarta
memakai nama lain. Misalnya Nurul Islam di Pekalongan, Ujung Pandang dengan
nama Al-Munir, di Garut dengan nama Ahmadiyah. Sedangkan di Solo berdiri
perkumpulan Sidiq Amanah Tabligh Fathonah (SATF) yang mendapat pimpinan dari
cabang Muhammadiyah. Bahkan dalam kota Yogyakarta sendiri ia menganjurkan
adanya jama'ah dan perkumpulan untuk mengadakan pengajian dan menjalankan
kepentingan Islam. Perkumpulan-perkumpulan dan Jama'ah-jama'ah ini mendapat bimbingan
dari Muhammadiyah, yang di antaranya ialah Ikhwanul Muslimin, Taqwimuddin,
Cahaya Muda, Hambudi-Suci, Khayatul Qulub, Priya Utama, Dewan Islam, Thaharatul
Qulub, Thaharatul-Aba, Ta'awanu alal birri, Ta'ruf bima kan,u wal-Fajri,
Wal-Ashri, Jamiyatul Muslimin, Syahratul Mubtadi (Kutojo dan Safwan, 1991: 33).
Gagasan pembaharuan Muhammadiyah disebarluaskan oleh Ahmad Dahlan dengan
mengadakan tabligh ke berbagai kota, di samping juga melalui relasi-relasi
dagang yang dimilikinya. Gagasan ini ternyata mendapatkan sambutan yang besar
dari masyarakat di berbagai kota di Indonesia. Ulama-ulama dari berbagai daerah
lain berdatangan kepadanya untuk menyatakan dukungan terhadap Muhammadiyah.
Muhammadiyah makin lama makin berkembang hampir di seluruh Indonesia. Oleh
karena itu, pada tanggal 7 Mei 1921 Dahlan mengajukan permohonan kepada
pemerintah Hindia Belanda untuk mendirikan cabang-cabang Muhammadiyah di
seluruh Indonesia. Permohonan ini dikabulkan oleh pemerintah Hindia Belanda
pada tanggal 2 September 1921.
(perkumpulan golongan Arab yang berhaluan maju di bawah pimpinan Syeikh
Ahmad Syurkati) terlibat perdebatan yang tajam dengan kaum Islam ortodoks dari
Surabaya dan Kudus. Muhammadiyah dipersalahkan menyerang aliran yang telah
mapan (tradisionalis-konservatif) dan dianggap membangun mazhab baru di luar
mazhab empat yang telah ada dan mapan. Muhammadiyah juga dituduh hendak
mengadakan tafsir Qur'an baru, yang menurut kaum ortodoks-tradisional merupakan
perbuatan terlarang. Menanggapi serangan tersebut, Ahmad Dahlan menjawabnya
dengan perkataan, "Muhammadiyah berusaha bercita-cita mengangkat agama
Islam dari keadaan terbekelakang. Banyak penganut Islam yang menjunjung tinggi
tafsir para ulama dari pada Qur'an dan Hadits. Umat Islam harus kembali kepada
Qur'an dan Hadits. Harus mempelajari langsung dari sumbernya, dan tidak hanya
melalui kitab-kitab tafsir".
|
Sebagai seorang yang demokratis
dalam melaksanakan aktivitas gerakan dakwah Muhammadiyah, Dahlan juga
memfasilitasi para anggota Muhammadiyah untuk proses evaluasi kerja dan
pemilihan pemimpin dalam Muhammadiyah. Selama hidupnya dalam aktivitas gerakan
dakwah Muhammadiyah, telah diselenggarakan duabelas kali pertemuan anggota
(sekali dalam setahun), yang saat itu dipakai istilah Algemeene Vergadering
(persidangan umum).
Atas jasa-jasa KH. Ahmad Dahlan dalam membangkitkan kesadaran bangsa ini
melalui pembaharuan Islam dan pendidikan, maka Pemerintah Republik Indonesia
menetapkannya sebagai Pahlawan Nasional dengan surat Keputusan Presiden no. 657
tahun 1961. Dasar-dasar penetapan itu ialah sebagai berikut :
KH. Ahmad Dahlan telah mempelopori kebangkitan ummat Islam untuk
menyadari nasibnya sebagai bangsa terjajah yang masih harus belajar dan
berbuat.
Dengan organisasi Muhammadiyah yang didirikannya, telah banyak
memberikan ajaran Islam yang murni kepada bangsanya. Ajaran yang menuntut
kemajuan, kecerdasan, dan beramal bagi masyarakat dan ummat, dengan dasar iman
dan Islam.
Dengan organisasinya, Muhammadiyah telah mempelopori amal usaha sosial
dan pendidikan yang amat diperlukan bagi kebangkitan dan kemajuan bangsa,
dengan jiwa ajaran Islam.
Dengan organisasinya, Muhammadiyah bagian wanita (Aisyiyah) telah
mempelopori kebangkitan wanita Indonesia untuk mengecap pendidikan.
BAB II
NAHDLATUL
ULAMA'
A.
SEJARAH BERDIRINYA
NAHDLATUL ULAMA (NU)
Kalangan pesantren yang selama ini gigih melawan kolonialisme, merespon Kebangkitan Nasional tersebut
dengan membentuk organisasi pergerakan, seperti Nahdlatut Wathan
(Kebangkitan Tanah Air) pada 1916. Kemudian pada tahun 1918 didirikan Taswirul
Afkar atau dikenal juga dengan Nahdlatul Fikri (Kebangkitan
Pemikiran), sebagai wahana pendidikan sosial politik kaum dan keagamaan kaum
santri. Dari situ kemudian didirikan Nahdlatut Tujjar, (pergerakan kaum
saudagar). Syarikat itu dijadikan basis untuk memperbaiki perekonomian rakyat.
Dengan adanya Nahdlatul Tujjar itu, maka Taswirul Afkar, selain
tampil sebagai kelompok studi juga menjadi lembaga pendidikan yang berkembang
sangat pesat dan memiliki cabang di beberapa kota.
Suatu waktu Raja Ibnu Saud
hendak menerapkan asas tunggal yakni mazhab Wahabi di Mekah, serta hendak
menghancurkan semua peninggalan sejarah Islam maupun pra Islam, yang selama ini
banyak diziarahi kerana dianggap bid’ah. Gagasan kaum Wahabi tersebut mendapat
sambutan hangat dari kaum modernis di Indonesia, baik kalangan Muhammadiyah
di bawah Pimpinan Ahmad Dahlan mahupun PSII di bawah pimpinan HOS Tjokroaminoto. Sebaliknya kalangan pesantren
yang selama ini membela keberagaman, menolak pembatasan bermazhab dan
penghancuran warisan peradaban tersebut.
Dengan sikapnya yang berbeda itu kalangan
pesantren dikeluarkan dari anggota Kongres Al Islam di Yogyakarta
pada 1925. Akibatnya kalangan pesantren juga tidak dilibatkan sebagai delegasi
dalam Mu'tamar 'Alam Islami (Kongres Islam Internasional) di Mekah yang akan
mengesahkan keputusan tersebut. Sumber lain menyebutkan bahwa K.H. Hasyim
Asy'ari, K.H. Wahab Hasbullah dan sesepuh NU lainnya melakukan walk
out.
Didorong oleh minatnya yang gigih untuk
menciptakan kebebasan bermazhab serta peduli terhadap pelestarian warisan
peradaban, maka kalangan pesantren terpaksa membuat delegasi sendiri yang
dinamai dengan Komite Hejaz, yang diketuai oleh K.H. Wahab Hasbullah.
|
Atas desakan
kalangan pesantren yang terhimpun dalam Komite Hejaz, dan tantangan dari segala
penjuru umat Islam di dunia, maka Raja Ibnu Saud mengurungkan niatnya. Hasilnya
hingga saat ini di Mekkah bebas dilaksanakan ibadah sesuai dengan mazhab mereka
masing-masing. Itulah peran internasional kalangan pesantren pertama, yang
berhasil memperjuangkan kebebasan bermazhab dan berhasil menyelamatkan
peninggalan sejarah dan peradaban yang sangat berharga.
Untuk menegaskan prisip dasar orgasnisai ini, maka
K.H. Hasyim Asy'ari merumuskan Kitab Qanun Asasi (prinsip dasar), kemudian juga
merumuskan kitab I'tiqad Ahlussunnah Wal Jamaah. Kedua kitab tersebut kemudian
diejawantahkan dalam khittah NU , yang dijadikan sebagai dasar dan rujukan
warga NU dalam berpikir dan bertindak dalam bidang sosial, keagamaan dan
politik.
Keterbelakangan baik secara mental, mahupun
ekonomi yang dialami bangsa Indonesia, akibat penjajahan mahupun akibat
kungkungan tradisi, telah menggugah kesadaran kaum terpelajar untuk
memperjuangkan martabat bangsa ini, melalui jalan pendidikan dan organisasi. Gerakan
yang muncul pata tahun 1908 tersebut dikenal dengan Parti Kebangkitan Bangsa. Semangat
kebangkitan memang terus menyebar ke mana-mana setelah rakyat pribumi sadar
terhadap penderitaan dan ketertinggalannya dengan bangsa lain. Sebagai
jawabannya, muncullah pelbagai organisai pendidikan dan pembebasan.
Paham Keagamaan
NU menganut faham Ahlussunah
waljama'ah, sebuah pola pikir yang mengambil jalan tengah antara ekstrem aqli
(rasionalis) dengan kaum ekstem naqli (skripturalis). Karena itu sumber
pemikiran bagi NU tidak hanya Al-Qur'an, Sunnah, tetapi juga menggunakan
kemampuan akal ditambah dengan realitas empirik. Cara berpikir semacam itu
dirujuk dari pemikir terdahulu seperti Abu Hasan Al-Asy'ari dan Abu Mansur
Al-Maturidi dalam bidang teologi Kemudian dalam bidang fikih mengikuti empat
Madzhab Hanafi, Maliki, Syafi'i, dan Hanbali. Sementara dalam bidang tasawuf,
mengembangkan metode Al-Ghazali dan Junaid Al-Baghdadi, yang mengintegrasikan
antara tasawuf dengan syariat.
Gagasan kembali kekhittah pada tahun
1985, merupakan momentum penting untuk menafsirkan kembali ajaran ahlussunnah
wal jamaah, serta merumuskan kembali metode berpikir, baik dalam bidang fikih
maupun sosial. Serta merumuskankembali hubungan NU dengan negara. Gerakan
tersebut berhasil kembali membangkitkan gairah pemikiran dan dinamika sosial
dalam NU.
Basis Pendukung
Jumlah warga NU yang merupakan basis
pendukungnya diperkirakan mencapai lebih dari 40 juta jiwa, dengan beragam
profesi, yang sebagian besar dari mereka adalah handai taulan, baik di kota
mahupun di desa. Mereka memiliki kohesifitas yang tinggi karena secara sosial
ekonomi memiliki problem yang sama, selain itu mereka juga sangat menjiwai
ajaran ‘ahlusunnah wal jamaah’. Pada umumnya mereka memiliki ikatan cukup kuat
dengan dunia pesantren yang merupakan pusat pendidikan rakyat dan cagar budaya
NU.
Diperolehi daripada "http://ms.wikipedia.org/wiki/Nahdlatul_Ulama
B.
KH. HASYIM ASHARI
Kyai
Haji Mohammad Hasyim Asy'arie (bagian belakangnya juga sering dieja Asy'ari
atau Ashari) (10 April 1875 (24 Dzulqaidah 1287H)–25 Juli 1947; dimakamkan di
Tebu Ireng, Jombang) adalah pendiri Nahdlatul Ulama, organisasi massa Islam
yang terbesar di Indonesia.
|
Keluarga
KH Hasyim Asyari adalah putra ketiga dari 11 bersaudara. Ayahnya bernama
Kyai Asyari, pemimpin Pesantren Keras yang berada di sebelah selatan Jombang.
Ibunya bernama Halimah. Dari garis ibu, Hasyim merupakan keturunan kedelapan
dari Jaka Tingkir (Sultan Pajang).
Berikut silsilah lengkapnya:
1.
Ainul Yaqin (Sunan
Giri),
2.
Abdurrohman (Jaka
Tingkir)
3.
Abdul Halim (Pangeran
Benawa)
4.
Abdurrohman (Pangeran
Samhud Bagda)
5.
Abdul Halim
6.
Abdul Wahid
7.
Abu Sarwan
8.
KH. Asy'ari (Jombang),
9.
KH. Hasyim Asy'ari
(Jombang)
Pendidikan
KH Hasyim Asyari belajar dasar-dasar agama dari ayah dan kakeknya, Kyai
Utsman yang juga pemimpin Pesantren Nggedang di Jombang. Sejak usia 15 tahun,
beliau berkelana menimba ilmu di berbagai pesantren, antara lain Pesantren
Wonokoyo di Probolinggo, Pesantren Langitan di Tuban, Pesantren Trenggilis di
Semarang, Pesantren Kademangan di Bangkalan dan Pesantren Siwalan di Sidoarjo.
Pada tahun 1892, KH Hasyim Asyari pergi menimba ilmu ke Mekah, dan
berguru pada Syeh Ahmad Khatib dan Syekh Mahfudh at-Tarmis
Perjuangan
Pada tahun 1899, sepulangnya dari Mekah, KH Hasyim Asyari mendirikan
Pesantren Tebu Ireng, yang kelak menjadi pesantren terbesar dan terpenting di
Jawa pada abad 20.
Pada tahun 1926, KH Hasyim Asyari menjadi salah satu pemrakarsa
berdirinya Nadhlatul Ulama (NU), yang berarti kebangkitan ulama.
Pendiri pesantren Tebuireng dan perintis Nahdlatul Ulama (NU), salah
satu organisasi kemasyarakatan terbesar di Indonesia, ini dikenal sebagai tokoh
pendidikan pembaharu pesantren. Selain mengajarkan agama dalam pesantren, ia
juga mengajar para santri membaca buku-buku pengetahuan umum, berorganisasi,
dan berpidato.
Karya dan jasa Kiai Hasyim Asy’ari yang lahir di Pondok Nggedang,
Jombang, Jawa Timur, 10 April 1875 tidak lepas dari nenek moyangnya yang secara
turun-temurun memimpin pesantren. Ayahnya bernama Kiai Asyari, pemimpin
Pesantren Keras yang berada di sebelah selatan Jombang. Ibunya bernama Halimah.
Dari garis ibu, Kiai Hasyim Asy’ari merupakan keturunan Raja Brawijaya VI, yang
juga dikenal dengan Lembu Peteng, ayah Jaka Tingkir yang menjadi Raja Pajang
(keturunan kedelapan dari Jaka Tingkir).
Kakeknya, Kiai Ustman terkenal sebagai pemimpin Pesantren Gedang, yang
santrinya berasal dari seluruh Jawa, pada akhir abad 19. Dan ayah kakeknya,
Kiai Sihah, adalah pendiri Pesantren Tambakberas di Jombang.
Semenjak kecil hingga berusia empat belas tahun, putra ketiga dari 11
bersaudara ini mendapat pendidikan langsung dari ayah dan kakeknya, Kyai
Utsman. Hasratnya yang besar untuk menuntut ilmu mendorongnya belajar lebih
giat dan rajin. Hasilnya, ia diberi kesempatan oleh ayahnya untuk membantu
mengajar di pesantren karena kepandaian yang dimilikinya.
|
Tak puas dengan ilmu yang
diterimanya, semenjak usia 15 tahun, ia berkelana dari satu pesantren ke
pesantren lain. Mulai menjadi santri di Pesantren Wonokoyo (Probolinggo),
Pesantren Langitan (Tuban), Pesantren Trenggilis (Semarang), dan Pesantren
Siwalan, Panji (Sidoarjo). Di pesantren Siwalan ia belajar pada Kyai Jakub yang
kemudian mengambilnya sebagai menantu.
Pada tahun 1892, Kiai Hasyim Asy'ari menunaikan ibadah haji dan menimba
ilmu di Mekah. Di sana ia berguru pada Syeh Ahmad Khatib dan Syekh Mahfudh
at-Tarmisi, gurunya di bidang hadis.
Dalam perjalanan pulang ke tanah air, ia singgah di Johor, Malaysia dan
mengajar di sana. Pulang ke Indonesia tahun 1899, Kiai Hasyim Asy'ari
mendirikan pesantren di Tebuireng yang kelak menjadi pesantren terbesar dan
terpenting di Jawa pada abad 20. Sejak tahun 1900, Kiai Hasyim Asy'ari
memosisikan Pesantren Tebuireng, menjadi pusat pembaruan bagi pengajaran Islam
tradisional.
Dalam pesantren itu bukan hanya ilmu agama yang diajarkan, tetapi juga
pengetahuan umum. Para santri belajar membaca huruf latin, menulis dan membaca
buku-buku yang berisi pengetahuan umum, berorganisasi, dan berpidato.
Cara yang dilakukannya itu mendapat reaksi masyarakat sebab dianggap
bidat. Ia dikecam, tetapi tidak mundur dari pendiriannya. Baginya, mengajarkan
agama berarti memperbaiki manusia. Mendidik para santri dan menyiapkan mereka
untuk terjun ke masyarakat, adalah salah satu tujuan utama perjuangan Kiai
Hasyim Asy'ari.
Meski mendapat kecaman, pesantren Tebuireng menjadi masyur ketika para
santri angkatan pertamanya berhasil mengembangkan pesantren di berbagai daerah
dan juga menjadi besar.
Tanggal 31 Januari 1926, bersama dengan tokoh-tokoh Islam tradisional,
Kiai Hasyim Asy’ari mendirikan Nahdlatul Ulama, yang berarti kebangkitan ulama.
Organisasi ini pun berkembang dan banyak anggotanya. Pengaruh Kiai Hasyim
Asy'ari pun semakin besar dengan mendirikan organisasi NU, bersama
teman-temannya. Itu dibuktikan dengan dukungan dari ulama di Jawa Tengah dan
Jawa Timur.
Bahkan, para ulama di berbagai daerah sangat menyegani kewibawaan Kiai
Hasyim. Kini, NU pun berkembang makin pesat. Organisasi ini telah menjadi
penyalur bagi pengembangan Islam ke desa-desa maupun perkotaan di Jawa.
Meski sudah menjadi tokoh penting dalam NU, ia tetap bersikap toleran
terhadap aliran lain. Yang paling dibencinya ialah perpecahan di kalangan umat
Islam. Pemerintah Belanda bersedia mengangkatnya menjadi pegawai negeri dengan
gaji yang cukup besar asalkan mau bekerja sama, tetapi ditolaknya.
Dengan alasan yang tidak diketahui, pada masa awal pendudukan Jepang,
Hasyim Asy'ari ditangkap. Berkat bantuan anaknya, K.H. Wahid Hasyim, beberapa
bulan kemudian ia dibebaskan dan sesudah itu diangkat menjadi Kepala Urusan
Agama.
Jabatan itu diterimanya karena terpaksa, tetapi ia tetap mengasuh
pesantrennya di Tebuireng.
Sesudah Indonesia merdeka, melalui pidato-pidatonya Kiai Hasyim Asy’ari
membakar semangat para pemuda supaya mereka berani berkorban untuk
mempertahankan kemerdekaan. Ia meninggal dunia pada tanggal 25 Juli 1947 karena
pendarahan otak dan dimakamkan di Tebuireng
MAKASIH UDAH MAMPIR....!!
BalasHapus