BAB I
TEORI
MASUKNYA ISLAM KE INDONESIA
Teori pertama tentang
datangnya Islam di Nusantara menyatakan bahwa Islam dibawa ke Nusantara oleh
para pedagang yang berasal dari Arab/Timur Tengah. Teori ini dikenal sebagai
teori Arab, dan dipegang oleh Crawfurd, Niemann, de Holander. Bahkan Fazlur
Rahman juga mengikuti mazhab ini (Rahman: 1968).
Kedua adalah teori
India. Teori ini menyatakan bahwa Islam yang datang ke Nusantara berasal dari India . Pelopor
mazhab ini adalah Pijnapel yang kemudian diteliti lebih lanjut oleh Snouck,
Fatimi, Vlekke, Gonda, dan Schrieke (Drewes: 1985; Azra: 1999).
BAB II
BABAK – BABAK PENTING DALAM PROSES MASUKNYA ISLAM DI
INDONESIA
A.
Babak pertama, abad 7 masehi (abad 1 hijriah).
Pada abad 7 masehi,
Islam sudah sampai ke Nusantara. Para Dai yang datang ke Indonesia berasal dari
jazirah Arab yang sudah beradaptasi dengan bangsa India yakni bangsa Gujarat
dan ada juga yang telah beradaptasi dengan bangsa Cina, dari berbagai arah
yakni dari jalur sutera (jalur perdagangan) dakwah mulai merambah di
pesisir-pesisir Nusantara.
Sejak awal Islam tidak
pernah membeda-bedakan fungsi seseorang untuk berperan sebagai dai (juru
dakwah). Kewajiban berdakwah dalam Islam bukan hanya kasta (golongan) tertentu
saja tetapi bagi setiap masyarakat dalam Islam. Sedangkan di agama lain hanya
golongan tertentu yang mempunyai otoritas menyebarkan agama, yaitu pendeta.
Sesuai ungkapan Imam Syahid Hasan Al-Bana “ Nahnu du’at qabla kulla syai“
artinya kami adalah dai sebelum profesi-profesi lainnya.
Sampainya dakwah di
Indonesia melalui para pelaut-pelaut atau pedagang-pedagang sambil membawa
dagangannya juga membawa akhlak Islami sekaligus memperkenalkan nilai-nilai
yang Islami. Masyarakat ketika berbenalan dengan Islam terbuka pikirannya,
dimuliakan sebagai manusia dan ini yang membedakan masuknya agama lain sesudah
maupun sebelum datangnya Islam. Sebagai contoh masuknya agama Kristen ke
Indonesia ini berbarengan dengan Gold (emas atau kekayaan) dan glory (kejayaan
atau kekuasaan) selain Gospel yang merupakan motif penyebaran agama berbarengan
dengan penjajahan dan kekuasaan. Sedangkan Islam dengan cara yang damai.
Begitulah Islam
pertama-tama disebarkan di Nusantara, dari komunitas-komunitas muslim yang
berada di daerah-daerah pesisir berkembang menjadi kota-kota pelabuhan dan
perdagangan dan terus berkembang sampai akhirnya menjadi kerajaan-kerajaan
Islam dari mulai Aceh sampai Ternata dan Tidore yang merupakan pusat kerajaan
Indonesia bagian Timur yang wilayahnya sampai ke Irian jaya.
B. Babak kedua, abad 13 masehi.
|
Di abad 13 Masehi berdirilah kerajaan-kerajaan Islam
diberbagai penjuru di Nusantara. Yang merupakan moment kebangkitan kekuatan
politik umat khususnya didaerah Jawa ketika kerajaan Majapahit berangsur-angsur
turun kewibawaannya karena konflik internal. Hal ini dimanfaatkan oleh Sunan
Kalijaga yang membina di wilayah tersebut bersama Raden Fatah yang merupaka
keturunan raja-raja Majapahit untuk mendirikan kerajaan Islam pertama di pulau
Jawa yaitu kerajaan Demak. Bersamaan dengan itu mulai bermunculan pula
kerajaan-kerajaan Islam yang lainnya, walaupun masih bersifat lokal.
Pada abad 13 Masehi ada
fenoma yang disebut dengan Wali Songo yaitu ulama-ulama yang menyebarkan dakwah
di Indonesia. Wali Songo mengembangkan dakwah atau melakukan proses
Islamisasinya melalui saluran-saluran:
a) Perdagangan
b) Pernikahan
c) Pendidikan(pesantren)
Pesantren merupakan
lembaga pendidikan yang asli dari akar budaya indonesia, dan juga adopsi dan
adaptasi hasanah kebudayaan pra Islam yang tidak keluar dari nilai-nilai Islam
yang dapat dimanfaatkan dalam penyebaran Islam. Ini membuktikan Islam sangat
menghargai budaya setempat selama tidak bertentangan dengan nilai-nilai Islam.
d) Senidanbudaya
Saat itu media tontonan
yang sangat terkenal pada masyarakat jawa kkhususnya yaitu wayang. Wali Songo
menggunakan wayang sebagai media dakwah dengan sebelumnya mewarnai wayang
tersebut dengan nilai-nilai Islam. Yang menjadi ciri pengaruh Islam dalam
pewayangan diajarkannya egaliterialisme yaitu kesamaan derajat manusia di
hadapan Allah dengan dimasukannya tokoh-tokoh punakawam seperti Semar, Gareng,
Petruk, dan Bagong.
Para Wali juga
menggubah lagu-lagu tradisional (daerah) dalam langgam Islami, ini berarti
nasyid sudah ada di Indonesia ini sejak jaman para wali. Dalam upacara-upacara
adat juga diberikan nilai-nilai Islam.
e) Tasawwuf
Kenyatan sejarah bahwa
ada tarikat-tarikat di Indonesia yang menjadi jaringan penyebaran agama Islam.
C. Babak ketiga, masa penjajahan Belanda.
Pada abad 17 masehi
tepatnya tahun 1601 datanglah kerajaan Hindia Belanda kedaerah Nusantara yang
awalnya hanya berdagang tetapi akhirnya menjajah. Belanda datang ke Indonesia
dengan kamar dagangnya yakni VOC, semejak itu hampir seluruh wilayah nusantara dijajah
oleh Hindia Belanda kecuali Aceh. Saat itu antar kerajaan-kerajaan Islam di
nusantara belum sempat membentuk aliansi atau kerja sama. Hal ini yang
menyebabkan proses penyebaran dakwah terpotong.
Dengan sumuliayatul
(kesempurnaan) Islam yang tidak ada pemisahan antara aspek-aspek kehidupan
tertentu dengan yang lainnya, ini telah diterapkan oleh para Ulama saat itu.
Ketika penjajahan datang, mengubah pesantren-pesantren menjadi markas-markas
perjuangan, santri-santri (peserta didik pesantren) menjadi jundullah (pasukan
Allah) yang siap melawan penjajah sedangkan ulamanya menjadi panglima
perangnya. Hampir seluruh wilayah di Indonesia yang melakukan perlawanan
terhadap penjajah adalah kaum muslimin beserta ulamanya.
Potensi-potensi tumbuh
dan berkembang di abad 13 menjadi kekuatan perlawanan terhadap penjajah. Ini
dapat dibuktikan dengan adanya hikayat-hikayat pada masa kerajaan-kerajaan
Islam yang syair-syairnya berisikan perjuangan. Ulama-ulama menggelorakan Jihad
melawan kaum kafir yaitu penjajah Belanda. Belanda mengalami kewalahan yang
akhirnya menggunakan strategi-strategi:
Politik devide et
impera, yang pada kenyataannya memecah-belah atau mengadu domba antara kekuatan
Ulama dengan adat contohnya perang Padri di Sumatera Barat dan perang
Diponegoro dijawa.
|
Mendatangkan Prof. Dr. Snouk Cristian Hourgonye alias Abdul
Gafar seorang Guru Besar keIndonesiaan di Universitas Hindia Belanda juga
seorang orientalis yang pernah mempelajari Islam di Mekkah, dia berpendapat
agar pemerintahan Belanda membiarkan umat Islam hanya melakukan ibadah mahdhoh
(khusus) dan dilarang berbicara atau sampai melakukan politik praktis. Gagasan
tersebut dijalani oleh pemerintahan Belanda dan salah satunya adalah pembatasan
terhadap kaum muslimin yang akan melakukan ibadah Haji karena pada saat itulah
terjadi pematangan pejuangan terhadap penjajahan
D. Babak keempat, abad 20 masehi
Awal abad 20 masehi,
penjajah Belanda mulai melakukan politik etik atau politik balas budi yang
sebenarnya adalah hanya membuat lapisan masyarakat yang dapat membantu mereka
dalam pemerintahannya di Indonesia. Politik balas budi memberikan pendidikan
dan pekerjaan kepada bangsa Indonesia khususnya umat Islam tetapi sebenarnya
tujuannya untuk mensosialkan ilmu-ilmu barat yang jauh dari Al-Qur’an dan hadist
dan akan dijadikannya boneka-boneka penjajah. Selain itu juga mempersiapkan
untuk lapisan birokrasi yang tidak mungkin pegang oleh lagi oleh orang-orang
Belanda. Yang mendapat pendidikanpun tidak seluruh masyarakat melainkan hanya
golongan Priyayi (bangsawan), karena itu yang pemimpin-¬pemimpin pergerakan
adalah berasalkan dari golongan bangsawan.
Strategi perlawanan
terhadap penjajah pada masa ini lebih kepada bersifat organisasi formal
daripada dengan senjata. Berdirilah organisasi Serikat Islam merupakan
organisasi pergerakan nasional yang pertama di Indonesia pada tahun 1905 yang
mempunyai anggota dari kaum rakyat jelata sampai priyayi dan meliputi wilayah
yang luas. Tahun 1908 berdirilah Budi Utomo yang bersifat masih bersifat
kedaerahan yaitu Jawa, karena itu Serikat Islam dapat disebut organisasi
pergerakan Nasional pertama daripada Budi Utomo.
Tokoh Serikat Islam
yang terkenal yaitu HOS Tjokroaminoto yang memimpin organisasi tersebut pada
usia 25 tahun, seorang kaum priyayi yang karena memegang teguh Islam maka
diusir sehingga hanya menjadi rakyat biasa. Ia bekerja sebagai buruh pabrik
gula. Ia adalah seorang inspirator utama bagi pergerakan Nasional di Indonesia.
Serikat Islam di bawah pimpinannya menjadi suatu kekuatan yang diperhitungkan
Belanda.
Tokoh-tokoh Serikat
Islam lainnya ialah H. Agus Salim dan Abdul Muis, yang membina para pemuda yang
tergabung dalam Young Islamitend Bound yang bersifat nasional, yang berkembang
sampai pada sumpah pemuda tahun 1928.
Dakwah Islam di Indonesia terus berkembang dalam institusi-institusi seperti lahirnya Nadhatul Ulama, Muhammadiyah, Persis, dan lain-lain. Lembaga-lembaga ke-Islaman tersebut tergabung dalam MIAI (Majelis Islam ‘Ala Indonesia) yang kemudian berubah namanya menjadi MASYUMI (Majelis Syura Muslimin Indonesia) yang anggotanya adalah para pimpinan institusi-institusi ke-Islaman tersebut.
Dakwah Islam di Indonesia terus berkembang dalam institusi-institusi seperti lahirnya Nadhatul Ulama, Muhammadiyah, Persis, dan lain-lain. Lembaga-lembaga ke-Islaman tersebut tergabung dalam MIAI (Majelis Islam ‘Ala Indonesia) yang kemudian berubah namanya menjadi MASYUMI (Majelis Syura Muslimin Indonesia) yang anggotanya adalah para pimpinan institusi-institusi ke-Islaman tersebut.
Di masa pendudukan
Jepang, dilakukan strategi untuk memecah-belah kesatuan kekuatan umat oleh
pemerintahan Jepang dengan membentuk kementrian Sumubu (Departemen Agama).
Jepang meneruskan strategi yang dilakukan Belanda terhadap umat Islam. Ada
seorang Jepang yang faham dengan Islam yaitu Kolonel Huri, ia memotong
koordinasi ulama-ulama di pusat dengan di daerah, sehingga ulama-ulama di desa
yang kurang informasi dan akibatnya membuat umat dapat terbodohi.
Pemerintahan pendudukan
Jepang memberikan fasilitas untuk kemerdekaan Indonesia dengan membentuk BPUPKI
(Badan Penyelidik Usaha-Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia) dan dilanjuti
dengan PPKI (Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia) dan lebih mengerucut lagi
menjadi Panitia Sembilan, Panitia ini yang merumuskan Piagam Jakarta tanggal 22
Juni 1945.
Piagram Jakarta
merupakan konsensus tertinggi untuk menggambarkan adanya keragaman Bangsa
Indonesia yang mencari suatu rumusan untuk hidup bersama. Tetapi ada kalimat
yang kontroversi dalam piagam ini yaitu penghapusan “7 kata “ lengkapnya
kewajiban menjalankan syariat Islam bagi para pemeluk-pemeluknya yang terletak
pada alinea keempat setelah kalimat Negara berdasarkan kepada Ketuhan Yang Maha
Esa.
|
E. Babak kelima, abad 20 & 21.
Pada babak ini proses
dakwah (Islamisasi) di Indonesia mempunyai ciri terjadinya globalisasi
informasi dengan pengaruh-pengaruh gerakan Islam internasional secara efektif
yang akan membangun kekuatan Islam lebih utuh yang meliputi segala dimensinya.
Sebenarnya kalau saja Indonesia tidak terjajah maka proses Islamisasi di
Indonesia akan berlangsung dengan damai karena bersifat kultural dan membangun
kekuatan secara struktural.
Hal ini karena awalnya
masuknya Islam yang secara manusiawi, dapat membangun martabat masyarakat yang
sebagian besar kaum sudra (kelompok struktur masyarakat terendah pada masa
kerajaan) dan membangun ekonomi masyarakat. Sejarah membuktikan bahwa kota-kota
pelabuhan (pusat perdagangan) yang merupakan kota-kota yang perekonomiannya
berkembang baik adalah kota-kota muslim. Dengan kata lain Islam di Indonesia
bila tidak terjadi penjajahan akan merupakan wilayah Islam yang terbesar dan
terkuat. Walaupun demikian Allah mentakdirkan di Indonesia merupakan jumlah
peduduk muslim terbesar di dunia, tetapi masih menjadi tanda tanya besar apakah
kualitasnya sebanding dengan kuantitasnya.
Bab
III
Pada masa kedatangan
dan penyebaran Islam di Indonesia terdapat beraneka ragam suku bangsa,
organisasi pemerintahan, struktur ekonomi, dan sosial budaya. Suku bangsa
Indonesia yang bertempat tinggal di daerah-daerah pedalaman, jika dilihat dari
sudut antropologi budaya, belum banyak mengalami percampuran jenis-jenis bangsa
dan budaya dari luar, seperti dari India, Persia, Arab, dan Eropa. Struktur
sosial, ekonomi, dan budayanya agak statis dibandingkan dengan suku bangsa yang
mendiami daerah pesisir. Mereka yang berdiam di pesisir, lebih-lebih di kota
pelabuhan, menunjukkan ciri-ciri fisik dan sosial budaya yang lebih berkembang
akibat percampuran dengan bangsa dan budaya dari luar.
A.
Proses
Islamisasi di Indonesia
Dalam masa kedatangan
dan penyebaran Islam di Indonesia, terdapat negara-negara yang bercorak
Indonesia-Hindu. Di Sumatra terdapat kerajaan Sriwijaya dan Melayu; di Jawa,
Majapahit; di Sunda, Pajajaran; dan di Kalimantan, Daha dan Kutai.
Agama Islam yang datang
ke Indonesia mendapat perhatian khusus dari kebanyakan rakyat yang telah
memeluk agama Hindu. Agama Islam dipandang lebih baik oleh rakyat yang semula
menganut agama Hindu, karena Islam tidak mengenal kasta, dan Islam tidak
mengenal perbedaan golongan dalam masyarakat. Daya penarik Islam bagi
pedagang-pedagang yang hidup di bawah kekuasaan raja-raja Indonesia-Hindu
agaknya ditemukan pada pemikiran orang kecil. Islam memberikan sesuatu
persamaan bagi pribadinya sebagai anggota masyarakat muslim. Sedangkan menurut
alam pikiran agama Hindu, ia hanyalah makhluk yang lebih rendah derajatnya
daripada kasta-kasta lain. Di dalam Islam, ia merasa dirinya sama atau bahkan
lebih tinggi dari pada orang-orang yang bukan muslim, meskipun dalam struktur
masyarakat menempati kedudukan bawahan.
|
Proses islamisasi di Indonesia terjadi dan dipermudah karena
adanya dukungan dua pihak: orang-orang muslim pendatang yang mengajarkan agama
Islam dan golongan masyarakat Indonesia sendiri yang menerimanya. Dalam
masa-masa kegoncangan politik , ekonomi, dan sosial budaya, Islam sebagai agama
dengan mudah dapat memasuki & mengisi masyarakat yang sedang mencari
pegangan hidup, lebih-lebih cara-cara yg ditempuh oleh orang-orang muslim dalam
menyebarkan agama Islam, yaitu menyesuaikan dengan kondisi sosial budaya yang
telah ada. Dengan demikian, pada tahap permulaan islamisasi dilakukan dengan
saling pengertian akan kebutuhan & disesuaikan dengan kondisi
masyarakatnya. Pembawa dan penyebar agama Islam pada masa-masa permulaan adalah
golongan pedagang, yang sebenarnya menjadikan faktor ekonomi perdagangan
sebagai pendorong utama untuk berkunjung ke Indonesia. Hal itu bersamaan
waktunya dengan masa perkembangan pelayaran dan perdagangan internasional
antara negeri-negeri di bagian barat, tenggara, dan timur Asia. Kedatangan
pedagang-pedagang muslim seperti halnya yang terjadi dengan perdagangan sejak
zaman Samudra Pasai dan Malaka yang merupakan pusat kerajaan Islam yang
berhubungan erat dengan daerah-daerah lain di Indonesia, maka orang-orang
Indonesia dari pusat-pusat Islam itu sendiri yang menjadi pembawa dan penyebar
agama Islam ke seluruh wilayah kepulauan Indonesia.
Tata cara islamisasi
melalui media perdagangan dapat dilakukan secara lisan dengan jalan mengadakan
kontak secara langsung dengan penerima, serta dapat pula terjadi dengan lambat
melalui terbentuknya sebuah perkampungan masyarakat muslim terlebih dahulu.
Para pedagang dari berbagai daerah, bahkan dari luar negeri, berkumpul dan
menetap, baik untuk sementara maupun untuk selama-lamanya, di suatu daerah,
sehingga terbentuklah suatu perkampungan pedagang muslim. Dalam hal ini orang
yang bermaksud hendak belajar agama Islam dapat datang atau memanggil mereka
untuk mengajari penduduk pribumi.
Selain itu, penyebaran
agama Islam dilakukan dgn cara perkawinan antara pedagang muslim dgn anak-anak
dari orang-orang pribumi, terutama keturunan bangsawannya. Dengan perkawinan
itu, terbentuklah ikatan kekerabatan dgn keluarga muslim.
Media seni, baik seni
bangunan, pahat, ukir, tari, sastra, maupun musik, serta media lainnya,
dijadikan pula sebagai media atau sarana dalam proses islamisasi. Berdasarkan
berbagai peninggalan seni bangunan dan seni ukir pada masa-masa penyeberan
agama Islam, terbukti bahwa proses islamisasi dilakukan dgn cara damai. Kecuali
itu, dilihat dari segi ilmu jiwa dan taktik, penerusan tradisi seni bangunan
dan seni ukir pra-Islam merupakan alat islamisasi yang sangat bijaksana dan
dengan mudah menarik orang-orang nonmuslim untuk dengan lambat-laun memeluk
Islam sebagai pedoman hidupnya.
Dalam perkembangan
selanjutnya, golongan penerima dapat menjadi pembawa atau penyebar Islam untuk
orang lain di luar golongan atau daerahnya. Dalam hal ini, kontinuitas antara
penerima dan penyebar terus terpelihara dan dimungkinkan sebagai sistem
pembinaan calon-calon pemberi ajaran tersebut. Biasanya santri-santri pandai,
yang telah lama belajar seluk-beluk agama Islam di suatu tempat dan kemudian
kembali ke daerahnya, akan menjadi pembawa dan penyebar ajaran Islam yang telah
diperolehnya. Mereka kemudian mendirikan pondok-pondok pesantren. Pondok
pesantren merupakan lembaga yang penting dalam penyebaran agama Islam.
Agama Islam juga membawa
perubahan sosial dan budaya, yakni memperhalus dan memperkembangkan budaya
Indonesia. Penyesuaian antara adat dan syariah di berbagai daerah di Indonesia
selalu terjadi, meskipun kadang-kadang dalam taraf permulaan mengalami proses
pertentangan dalam masyarakat. Meskipun demikian, proses islamisasi di berbagai
tempat di Indonesia dilakukan dengan cara yang dapat diterima oleh rakyat
setempat, sehingga kehidupan keagamaan masyarakat pada umumnya menunjukkan
unsur campuran antara Islam dengan kepercayaan sebelumnya. Hal tersebut
dilakukan oleh penyebar Islam karena di Indonesia telah sejak lama terdapat
agama (Hindu-Budha) dan kepercayaan animisme.
|
Pada umumnya kedatangan Islam dan cara menyebarkannya kepada
golongan bangsawan maupun rakyat umum dilakukan dengan cara damai, melalui
perdagangan sebagai sarana dakwah oleh para mubalig atau orang-orang alim.
Kadang-kadang pula golongan bangsawan menjadikan Islam sebagai alat politik
untuk mempertahankan atau mencapai kedudukannya, terutama dalam mewujudkan
suatu kerajaan Islam.
B.
Perkembangan
Islam di Indonesia
Kedatangan Islam di
berbagai daerah di Indonesia tidaklah bersamaan. Demikian pula dengan
kerajaan-kerajaan dan daerah yang didatanginya, ia mempunyai situasi politik
dan sosial budaya yang berlainan. Pada waktu kerajaan Sriwijaya mengembangkan
kekuasaannya pada sekitar abad ke-7 dan ke-8, Selat Malaka sudah mulai dilalui
oleh para pedagang muslim dalam pelayarannya ke negeri-negeri di Asia Tenggara
dan Asia Timur. Berdasarkan berita Cina zaman T’ang pada abad-abad tersebut,
diduga masyarakat muslim telah ada, baik di kanfu (kanton) maupun di daerah
Sumatra sendiri. Perkembangan pelayaran dan perdagangan yang bersifat
internasional antara negeri-negeri di Asia bagian barat atau timur mungkin
disebabkan oleh kegiatan kerajaan Islam di bawah Bani Umayah di bagian barat
maupun kerajaan Cina zaman dinasti T’ang di Asia Timur serta kerajaan Sriwijaya
di Asia Tenggara. Adalah suatu kemungkinan bahwa menjelang abad ke-10 para
pedagang Islam telah menetap di pusat-pusat perdagangan yang penting di
kepulauan Indonesia, terutama di pulau-pulau yang terletak di Selat Malaka,
terusan sempit dalam rute pelayaran laut dari negeri-negeri Islam ke Cina. Tiga
abad kemudian, menurut dokumen-dokumen sejarah tertua, permukiman orang-orang
Islam didirikan di Perlak dan Samudra Pasai di Timur Laut pantai Sumatra.
Saudagar-saudagar dari
Arab Selatan semenanjung tanah Arab yang melakukan perdagangan ke tanah Melayu
sekitar 630 M (tahun kesembilan Hijriah) telah menemui bahwa di sana banyak
yang telah memeluk Islam. Hal ini membuktikan bahwa Islam telah masuk ke
Indonesia sejak abad-abad pertama Hijriah, atau sekitar abad ke tujuh dan
kedelapan Masehi yang dibawa langsung oleh saudagar dari Arab. Dengan demikian,
dakwah Islam telah tiba di tanah Melayu sekitar tahun 630 M tatkala Nabi
Muhammad saw. masih hidup. Keterangan lebih lanjut tentang masuknya Islam ke
Indonesia ditemukan pada berita dari Marcopolo, bahwa pada tahun 1292 ia pernah
singgah di bagian utara daerah Aceh dalam perjalanannya dari Tiongkok ke Persia
melalui laut. Di Perlak ia menjumpai penduduk yang telah memeluk Islam dan
banyak para pedagang Islam dari India yang giat menyebarkan agama itu.
Para pedagang muslim
menjadi pendukung daerah-daerah Islam yang muncul kemudian, dan daerah yang
menyatakan dirinya sebagai kerajaan yang bercorak Islam ialah Samudra Pasai di
pesisir timur laut Aceh. Munculnya daerah tersebut sebagai kerajaan Islam yang
pertama diperkirakan mulai abad ke-13. Hal itu dimungkinkan dari hasil proses
islamisasi di daerah-daerah pantai yang pernah disinggahi para pedagang muslim
sejak abad ketujuh. Sultan yang pertama dari kerajaan Islam Samudra Pasai
adalah Sultan Malik al-Saleh yang memerintah pada tahun 1292 hingga 1297.
Sultan ini kemudian digantikan oleh putranya yang bernama Sultan Muhammad Malik
az-Zahir. Kerajaan Islam Samudra Pasai menjadi pusat studi agama Islam dan meru
pakan tempat berkumpul para ulama Islam dari berbagai negara Islam untuk berdis
kusi tentang masalah-masalah keagamaan dan masalah keduniawian. Berdasarkan
berita dari Ibnu Batutah, seorang pengembara asal Maroko yang mengunjungi
Samudra Pasai pada 1345, dikabarkan bahwa pada waktu ia mengunjungi kerajaan
itu, Samudra Pasai berada pada puncak kejayaannya. Dari catatan lain yang
ditinggalkan Ibnu Batutah, dapat diketahui bahwa pada masa itu kerajaan Samudra
Pasai merupakan pelabuhan yang sangat penting, tempat kapal-kapal datang dari
Tiongkok dan India serta dari tempat-tempat lain di Indonesia, singgah dan
bertemu untuk memuat dan membongkar barang-barang dagangannya.
|
Kerajaan Samudera Pasai makin berkembang dalam bidang agama
Islam, politik, perdagangan, dan pelayaran. Hubungan dengan Malaka makin ramai,
sehingga di Malaka pun sejak abad ke-14 timbul corak masyarakat muslim. Perkembangan
masyarakat muslim di Malaka makin lama makin meluas dan akhirnya pada awal abad
ke-15 berdiri kerajaan Islam Malaka. Para penganut agama Islam diberi hak-hak
istimewa, bahkan telah dibangunkan sebuah masjid untuk mereka. Para pedagang
yang singgah di Malaka kemudian banyak yang menganut agama Islam dan menjadi
penyebar agama Islam ke seluruh kepulauan Nusantara, tempat mereka mengadakan
transaksi perdagangan.
Kerajaan Malaka pertama
kali didirikan oleh Paramisora pada abad ke-15. Menurut cerita, sesaat sebelum
meninggal dalam tahun 1414, Paramisora masuk Islam, kemudian berganti nama
menjadi Iskandar Syah. Selanjutnya, kerajaan Malaka dikembangkan oleh putranya
yang bernama Muhammad Iskandar Syah (1414–1445). Pengganti Muhammad Iskandar
Syah adalah Sultan Mudzafar Syah (1445–1458). Di bawah pemerintahannya, Malaka
menjadi pusat perdagangan antara Timur dan Barat, dengan kemajuan-kemajuan yang
sangat pesat, sehingga jauh meninggalkan Samudra Pasai. Usaha mengembangkan
Malaka hingga mencapai puncak kejayaannya dilakukan oleh Sultan Mansyur Syah
(1458–1477) sampai pd masa pemerintahan Sultan Alaudin Syah (1477–1488).
Sementara itu,
kedatangan pengaruh Islam ke wilayah Indonesia bagian timur (Sulawesi dan
Maluku) tidak dapat dipisahkan dari jalur perdagangan yang terbentang antara
pusat lalu lintas pelayaran internasional di Malaka, Jawa, dan Maluku. Menurut
tradisi setempat, sejak abad ke-14, Islam telah sampai ke daerah Maluku.
Disebutkan bahwa kerajaan Ternate ke-12, Molomateya (1350–1357), bersahabat
karib dengan orang Arab yg memberinya petunjuk dalam pembuatan kapal, tetapi
agaknya tidak dalam kepercayaan.
Pada masa pemerintahan
Marhum di Ternate, datanglah seorang raja dari Jawa yang bernama Maulana Malik
Husayn yang menunjukkan kemahiran menulis huruf Arab yang ajaib seperti yang
tertulis dalam Alquran. Hal ini sangat menarik hati Marhum dan orang-orang di
Maluku. Kemudian, ia diminta oleh mereka agar mau mengajarkan huruf-huruf yang
indah itu. Sebaliknya, Maulana Malik Husayn mengajukan permintaan, agar mereka
tidak hanya mempelajari huruf Arab, melainkan pula diharuskan mempelajari agama
Islam. Demikianlah Maulana Malik Husayn berhasil mengislamkan orang-orang
Maluku. Raja Ternate yang dianggap benar-benar memeluk Islam adalah Zainal
Abidin (1486–1500).
Dari ketiga pusat
kegiatan Islam itulah, maka Islam menyebar dan meluas memasuki pelosok-pelosok
kepulauan Nusantara. Penyebaran yang nyata terjadi pada abad ke-16. Dari
Malaka, daerah Kampar, Indragiri, dan Riau menjadi Islam. Dari Aceh, Islam meluas
sampai ke Minangkabau, Bengkulu, dan Jambi. Dimulai sejak dari Demak, maka
sebagian besar Pulau Jawa telah menganut agama Islam.
Banten yang diislamkan
oleh Demak meluaskan dan menyebarkan Islam ke Sumatra Selatan. Di Kalimantan,
kerajaan Brunai yang pada abad ke-16 menjadi Islam, meluaskan penyebaran Islam
di bagian barat Kalimantan dan Filipina. Sedangkan Kalimantan Selatan
mendapatkan pengaruh Islam dari daratan Jawa. Dari Ternate semakin meluas
meliputi pulau-pulau di seluruh Maluku serta daerah pantai timur Sulawesi. Pada
abad ke-16 di Sulawesi Selatan berdiri kerajaan Goa. Demikianlah pada akhir
abad ke-16 dapat dikatakan bahwa Islam telah tersebar dan mulai meresapkan
akar-akarnya di seluruh Nusantara.
|
Meresapnya Islam di Indonesia pada abad ke-16 itu bersamaan
pula dengan ditanamkannya benih-benih agama Katolik oleh orang-orang Portugis.
Bangsa Portugis ini dikenal sebagai penentang Islam dan pemeluk agama Katolik
fanatik. Maka, di setiap tempat yang mereka datangi, di sanalah mereka berusaha
mendapatkan daerah tempat persemaian bagi agama Katolik. Hal ini menurut
tanggapan mereka merupakan suatu tugas dan kewajiban yang mendapat dorongan
dari pengalaman mereka menghadapi Islam di negeri mereka sendiri. Ketika
pertahanan Islam terakhir di Granada jatuh pada 1492, maka dalam usaha mereka
mendesak agama Islam sejauh mungkin dari Spanyol dan Portugis, mereka
memperluas gerakannya sampai Timur Tengah yang waktu itu menjadi daerah
perantara perdagangan rempah-rempah yang menghubungkan Timur dengan Barat.
Timbullah kemudian suatu hasrat dalam jiwa dagang mereka untuk berusaha sendiri
mendapatkan rempah-rempah yang menjadi pokok perdagangan waktu itu langsung
dari daerah penghasilnya (Nusantara). Dengan demikian, mereka tidak akan
bergantung lagi kepada pedagang-pedangan Islam di Timur Tengah.
Sumber : Diadaptasi
dari Sejarah Perjuangan Persis 1923-1983, Drs. Dadan Wildan Anas
C.
Mitos
Syekh Siti Jenar
Syekh Siti Jenar adalah
tokoh kontroversial sekaligus legendaris dalam sejarah Islam di Jawa, karena
“pembangkangan tasawuf”-nya dan mitos kesaktian yang dimilikinya. Syekh Siti
Jenar dianggap menyimpang dari ajaran Islam oleh Wali Songo ini. Kemudian,
ditunjukkan bagaimana Siti Jenar menerapkan ajarannya itu dan akhirnya tidak
bisa tidak bertemu dengan kekuatan ulama paling dominan, yakni Wali Songo.
Sudah jelas bahwa pada saat itu, peran ulama yang terorganisir dalam Wali Songo
mengambil ruang paling besar dalam legitimasi agama. Kehadiran Siti Jenar
dengan ajarannya yang jauh berbeda dari “kebenaran” yang digariskan Wali Songo
menjadi ganjalan besar, baik untuk penyebarluasan Islam maupun pengaruh politik
Wali Songo sendiri.
D.
Kejawen
Kejawen (bahasa Jawa:
Kejawèn) adalah sebuah kepercayaan atau mungkin boleh dikatakan ‘agama’ yang
terutama dianut di pulau Jawa oleh suku Jawa dan sukubangsa lainnya yang
menetap di Jawa. ‘Agama’ Kejawen sebenarnya adalah nama sebuah ke lompok
kepercayaan-kepercayaan yang mirip satu sama lain dan bukan sebuah ‘agama’
terorganisir seperti agama Islam atau agama Kristen. Ciri khas utama ‘agama’
Kejawen ialah adanya perpaduan antara animisme, agama Hindu dan Buddha. Namun
pengaruh agama Islam dan juga Kristen nampak pula. Kepercayaan ini merupakan
sebuah kepercayaan sinkretisme. Seorang ahli antropologi Amerika Serikat,
Clifford Geertz pernah menulis tentang agama ini dalam bukunya yang ternama The
Religion of Java. Olehnya Kejawen disebut “Agami Jawi”.
Dari Wikipedia
Indonesia, ensiklopedia bebas berbahasa Indonesia
BAB IV
KERAJAAN DI INDONESIA
BERCORAK ISLAM
A.
Kerajaan
Samudera Pasai
Tadinya bernama Perlak,
sebelum pernikahan Sultan Malikul Saleh dengan seorang putri pasai.
Peranan Samudera pasai:
a. Merupakan
kerajaan Islam tertua di Indonesia
b. Pusat
pelayaran dan perdagangan strategis krn terletak di tepi selat Malaka
Raja-raja Samudera
Pasai:
a. Sultan
Malikul Saleh
b. Malikul
Tahir [anak Malikul Saleh]
Pernah berusaha
ditundukkan Majapahit tapi gagal.
|
Sebab kemunduran: perkembangan kerajaan Malaka sehingga pusat
pelayaran perdagangan beralih ke Malaka
B.
Kerajaan
Malaka
Peranan:
a. pusat
perdagangan
b. pusat
penyebaran pengetahuan dan agama Islam
Raja-raja:
a.
Prameswara --> pendiri (paramisara)
b.
Megat Iskandar Syah --> Sultan I
c.
Sultan Mansyur Syah --> terbesar
Laksamana Hang Tuah
berhasil menguasai seluruh gerak perdagangan dan pelayaran Selat Malaka dan
Selat Karimata
Sebab keruntuhan:
Dikuasai Portugis [1511]
C.
Kerajaan
Aceh
Faktor pendorong
perkembangan Aceh:
a. letak
yang strategis di selat Malaka
b. Aceh
merupakan penghasil lada
c. Wilayah
Aceh merupakan wilayah yang cerah untuk perdagangan
Peranan Aceh:
a.
pusat perdagangan dan pusat pelayaran
b.
pusat penyebaran agama Hindu
Raja Aceh:
a.
Sultan Ibrahim
b.
Sultan Iskandar Muda
c.
Sultan Iskandar Thani
Karya sastra:
Bustanu'ssalatin [kitab raja-raja] --> dikarang oleh: Nuruddin ar Raniri
Politik luar negeri:
bebas mau berteman dgn siapa saja asal tidak membahayakan kedaulatan
Aceh.
Politik dalam negeri:
Sebab kemunduran Aceh:
a.
Tidak ada regenerasi pimpinan
b.
Perebutan kekuasaan diantara Tengku dan Teuku
c.
Banyak wilayah yang melepaskan diri
D.
Kerajaan
Demak
Terletak di Jateng
Bagian Barat
Raja-raja Demak:
1.
Raden Patah [putra raja Majapahit Brawijaya] [pendiri]
2.
|
Pati Unus
3.
Sultan Trenggono[masa kejayaan]
Merupakan daerah tempat
berkumpulnya para wali sehingga wilayah ini merupakan pusat agama Islam.
Peninggalan Islam:
a.
Mesjid Agung Demak
b.
Makam Panjang
c.
Makam Sunan Kalijaga
d.
Makam Ratu Kalinyamat Ki
Ageng Sela, Ki Penjawi, Ki Gede Pamanahan, Ki Juru Mertani, Adipati Pati
Sutawijaya [wil digabung] [anak angkat S. Hadiwijaya (raja pajang]
Sultan Trenggono wafat,
wilayah beralih ke Pajang.
Raja yang berkuasa:
Sultan Hadi Wijaya (Joko Tingkir/ Mas Karebet)
Sesudah Hadiwijaya
mangkat kerajaan pindah ke Mataram
E.
Kerajaan
Mataram
Terletak di Jawa Tengah
Selatan (Yogyakarta dan Selo)
Terdiri atas 4 bagian:
a. Kutanegara
b. Negara
Agung
c. Pesisir
d. Mancanegara
Raja-raja
Mataram:
a.
Sutawijaya /Mas Ngabehi Loring Pasar/ Senopati Ing
Ngalaga Khalifatullah Dayidin Panatagama.
b.
Mas Jolang (lemah) [S. Hanyakrawati]
c.
Mas Rangsang[Sultan Agung Hanyakrasuma]->kuat,
menentang Belanda. Menyerang Jayakarta 3 kali tapi gagal semua.
d.
S. Amangkurat [memihak Belanda]
e.
Amangkurat II [memihak Belanda]
f.
Amangkurat III [memihak Belanda]
Terjadi perselisihan
Amangkurat III dengan P. Mangkubumi, Mereka mengadakan perjanjian "Giyanti":
a.
|
Amangkurat III menguasai Surakarta
b.
P. Mangkubumi menguasai Yogyakarta
1757 Perjanjian
Salatiga:
a.
Surakarta dibagi2, yang satu milik Amangkurat, bergelar
Sunan Paku Buana; yang satu lagi milik P. Sambernyawa, bergelar
Mangkunegara
b.
Yogyakarta dibagi2 yang satu milik S. Hamengkubuono,
yang satu milik Pakualam
Faktor penyebab
kegagalan Sultan Agung:
1.
Kesalahan strategi [tiba pada saat musim hujan]
2.
Penyakit sampar
3.
Lumbung padi di Magelang, Kerawang, Pemalang
dibakar
4.
Pengkhianatan
5.
Kalah persenjataan
Peninggalan Kerajaan
Mataram:
a.
Keraton Yogyakarta dan Surakarta
b.
Pura Mangkunegara&Pura Pakualam
c.
Peninggalan yang berupa sastra: Serat Wulung Reh[karya
Ranggawarsita]
d.
Peninggalan yang berupa benda pusaka: Senjata, kereta,
manusia pendek, binatang, alun-alun, beringin, manusia bajang, manusia berkulit
putih
e.
Mangkunegara ke IV menulis Serat Centini
f.
Sastra Gending-oleh Sultan Agung
F.
Cirebon
dan Banten
Pendiri Cirebon dan
Banten: Fatahillah/ Faletehan/ Sunan Gunungjati.
Setelah mendirikan
Cirebon, Fatahillah mengusir Portugis dan Banten. Setelah mengusir mereka,
Fatahillah kembali ke Cirebon, kekuasaan diserahkan ke anaknya Sultan
Hassanuddin
Raja Banten yang kedua
adalah Syeh Maulana Yusuf. Ia merebut ibukota kerajaan Hindu Pajajaran di
Pakuan
Masa kejayaan: Sultan
Ageng Tirtayasa
Komoditi barang utama:
Lada, termasuk rempah-rempah
Keistimewaan Banten:
a.
Letak strategis, di tepi Selat Sunda
b.
Termasuk basis Islam yang kuat.
c.
Wilayahnya: Sunda Kelapa, Banten, Cirebon
d.
Pada masa Hassanuddin wilayah: Lampung, Bengkulu,
Palembang
e.
Terjadi pertentangan antara S. Ageng Tirtayasa dgn S.
Haji, karena S. Ageng menentang Belanda, sedangkan S. Haji berhasil dibujuk
oleh VOC. Ia menandatangani Perjanjian Banten
Perjanjian Banten:
1.
VOC monopoli lada di Banten
2.
S. haji menjadi raja, 1/3 wilayah milik Belanda
Ada 3 keraton Cirebon:
Keraton Kasepuhan, Kanoman, Kacirebonan
G.
Kerajaan
Banjarmasin
Didirikan Pangeran
Samudera, gelarnya Sultan Suryanullah
Pusat kerajaan: Kota
Banjarmasin.
Selama Perang Makassar,
pedagang Melayu mengungsi ke Banjarmasin, hingga hubungan Banjarmasin-Mataram
kuat karena ada unsur menentang Belanda.
H.
Kerajaan
Gowa-Tallo
Kerajaan Sulawesi
Selatan: Gowa-Tallo, Wajo, Sopeng, Bone
|
Ada persaingan antara Gowa dengan Bone
Kerajaan Bone membentuk
aliansi Tellumpocco dengan Wajo dan Sopeng, Gowa-Tallo menang
Bandar utama: Somba
Opu
Raja Gowa: Daeng
Manrabbia [Sultan Alaudin] -raja pertama yang Islam. Ia menyebarkan Islam di
seluruh wilyahnya
Masa kejayaan: Sultan
Hassanuddin
I. Kerajaan Ternate dan Tidore
Maluku Utara, 4
kerajaan: Jailolo[halmahera], Ternate, Tidore, Bacan
Agama Islam disebarkan
Sunan Giri dari Gresik
Banyak kaum muslimin
yang berguru pada Sunan Giri di Gresik, hingga hubungan perdagangan antara
Maluku dan pedagang Jatim ramai
Raja Ternate yg pertama
memeluk Islam: Zainal Abidin
Maluku akhirnya terbagi
menjadi 2 wilayah pengaruh:
a. Uli
Lima : di bawah Kerajaan Ternate
b. Uli
Siwa : di bawah Kerajaan Tidore
BAB
V
Walisongo
Walisongo atau
Walisanga dikenal sebagai penyebar agama Islam di tanah Jawa pada abad ke-17.
Mereka tinggal di tiga wilayah penting pantai utara Pulau Jawa, yaitu
Surabaya-Gresik-Lamongan di Jawa Timur, Demak-Kudus-Muria di Jawa Tengah, dan
Cirebon di Jawa Barat.
Era Walisongo adalah
era berakhirnya dominasi Hindu-Budha
dalam budaya Nusantara
untuk digantikan dengan kebudayaan Islam. Mereka adalah simbol penyebaran Islam di Indonesia,
khususnya di Jawa. Tentu banyak tokoh lain yang juga berperan. Namun peranan
mereka yang sangat besar dalam mendirikan Kerajaan Islam di Jawa, juga
pengaruhnya terhadap kebudayaan masyarakat secara luas serta dakwah secara
langsung, membuat para Walisongo ini lebih banyak disebut dibanding yang lain.
Ada beberapa pendapat
mengenai arti Walisongo. Pertama adalah wali yang sembilan, yang menandakan
jumlah wali yang ada sembilan, atau sanga dalam bahasa Jawa. Pendapat lain
menyebutkan bahwa kata songo/sanga berasal dari kata tsana yang dalam bahasa Arab
berarti mulia. Pendapat lainnya lagi menyebut kata sana berasal dari bahasa Jawa, yang berarti
tempat.
Pendapat lain yang
mengatakan bahwa Walisongo ini adalah sebuah dewan yang didirikan oleh Raden
Rahmat (Sunan Ampel) pada tahun 1474. Saat itu dewan
Walisongo beranggotakan Raden Hasan (Pangeran Bintara); Makhdum Ibrahim (Sunan
Bonang, putra pertama dari Sunan Ampel); Qasim (Sunan
Drajad, putra kedua dari Sunan Ampel); Usman Haji (Pangeran Ngudung, ayah
dari Sunan
Kudus); Raden Ainul Yaqin (Sunan Giri, putra dari Maulana Ishaq); Syekh Suta
Maharaja; Raden Hamzah (Pangeran Tumapel) dan Raden Mahmud.
Para Walisongo adalah
intelektual yang menjadi pembaharu masyarakat pada masanya. Pengaruh mereka
terasakan dalam beragam bentuk manifestasi peradaban baru masyarakat Jawa,
mulai dari kesehatan,
bercocok-tanam, perniagaan, kebudayaan,
kesenian,
kemasyarakatan, hingga ke pemerintahan.
Meskipun terdapat
perbedaan pendapat mengenai siapa saja yang termasuk sebagai Walisongo, pada
umumnya terdapat sembilan nama yang dikenal sebagai anggota Walisongo yang
paling terkenal, yaitu:
3.
|
Sunan Bonang atau Raden Makhdum Ibrahim
4.
Sunan Drajat atau Raden Qasim
5.
Sunan Kudus atau Jaffar Shadiq
6.
Sunan Giri atau Raden Paku atau Ainul Yaqin
7.
Sunan Kalijaga atau Raden Said
8.
Sunan Muria atau Raden Umar Said
Para Walisongo tidak
hidup pada saat yang persis bersamaan. Namun satu sama lain mempunyai
keterkaitan erat, bila tidak dalam ikatan darah juga karena pernikahan atau
dalam hubungan guru-murid.
B. Tokoh pendahulu Walisongo
Syekh Jumadil Qubro adalah tokoh yang sering
disebutkan dalam berbagai babad dan cerita rakyat sebagai salah seorang pelopor
penyebaran Islam di tanah Jawa. Ia umumnya dianggap bukan keturunan Jawa,
melainkan berasal dari Asia Tengah. Terdapat beberapa versi babad yang meyakini
bahwa ia adalah keturunan ke-10 dari Husain
bin Ali, yaitu cucu Nabi Muhammad SAW. Sedangkan Martin van
Bruinessen (1994) menyatakan bahwa ia adalah tokoh yang sama dengan Jamaluddin
Akbar (lihat keterangan Syekh Maulana Akbar di bawah).
Sebagian babad
berpendapat bahwa Syekh Jumadil Qubro memiliki dua anak, yaitu Maulana Malik
Ibrahim dan Maulana Ishaq, yang bersama-sama dengannya datang ke pulau Jawa.
Syekh Jumadil Qubro kemudian tetap di Jawa, Maulana Malik Ibrahim ke Champa, dan adiknya
Maulana Ishaq mengislamkan Samudera Pasai. Dengan demikian, beberapa Walisongo
yaitu Sunan
Ampel (Raden Rahmat) dan Sunan Giri (Raden Paku) adalah cucunya; sedangkan Sunan
Bonang, Sunan Drajad dan Sunan Kudus
adalah buyutnya. Hal tersebut menyebabkan adanya pendapat yang mengatakan bahwa
para Walisongo merupakan keturunan etnis Uzbek yang dominan di Asia Tengah,
selain kemungkinan lainnya yaitu etnis Persia, Gujarat, ataupun Hadramaut.
Makamnya terdapat di
beberapa tempat yaitu di Semarang, Trowulan, atau di desa Turgo (dekat
Pelawangan), Yogyakarta. Belum diketahui yang mana yang betul-betul merupakan
kuburnya.[2]
Syekh Maulana Akbar
adalah adalah seorang tokoh di abad 14-15 yang dianggap merupakan pelopor
penyebaran Islam di tanah Jawa. Nama lainnya ialah Syekh Jamaluddin Akbar dari
Gujarat, dan ia kemungkinan besar adalah juga tokoh yang dipanggil dengan nama
Syekh Jumadil Kubro, sebagaimana tersebut di atas. Hal ini adalah menurut
penelitian Martin van Bruinessen (1994), yang menyatakan bahwa nama Jumadil
Kubro (atau Jumadil Qubro) sesungguhnya adalah hasil perubahan hyper-correct
atas nama Jamaluddin Akbar oleh masyarakat Jawa.[3]
Silsilah Syekh Maulana
Akbar (Jamaluddin Akbar) dari Nabi
Muhammad SAW umumnya dinyatakan sebagai berikut: Sayyidina
Husain, Ali Zainal Abidin, Muhammad
al-Baqir, Ja'far ash-Shadiq, Ali al-Uraidhi, Muhammad
al-Naqib, Isa ar-Rummi, Ahmad al-Muhajir, Ubaidullah, Alwi Awwal, Muhammad
Sahibus Saumiah, Alwi ats-Tsani, Ali Khali' Qasam, Muhammad Shahib Mirbath, Alwi Ammi
al-Faqih, Abdul Malik (Ahmad Khan), Abdullah (al-Azhamat) Khan, Ahmad Jalal
Syah, dan Jamaluddin Akbar al-Husaini (Maulana Akbar).
Menurut cerita rakyat,
sebagian besar Walisongo memiliki hubungan atau berasal dari keturunan Syekh Maulana
Akbar ini. Tiga putranya yang disebutkan meneruskan dakwah di Asia Tenggara;
adalah Ibrahim Akbar (atau Ibrahim as-Samarkandi) ayah Sunan Ampel yang
berdakwah di Champa
dan Gresik, Ali
Nuralam Akbar kakek Sunan Gunung Jati yang berdakwah di Pasai, dan Zainal
Alam Barakat.
|
Penulis asal Bandung Muhammad Al Baqir dalam Tarjamah
Risalatul Muawanah (Thariqah Menuju Kebahagiaan) memasukkan beragam catatan
kaki dari riwayat-riwayat lama tentang kedatangan para mubaligh Arab ke Asia
Tenggara. Ia berkesimpulan bahwa cerita rakyat tentang Syekh Maulana Akbar yang
sempat mengunjungi Nusantara dan wafat di Wajo, Makasar
(dinamakan masyarakat setempat makam Kramat Mekkah), belum dapat
dikonfirmasikan dengan sumber sejarah lain. Selain itu juga terdapat riwayat
turun-temurun tarekat Sufi di Jawa Barat, yang menyebutkan bahwa Syekh Maulana
Akbar wafat dan dimakamkan di Cirebon, meskipun juga belum dapat diperkuat sumber sejarah
lainnya.
Syekh Quro adalah pendiri pesantren pertama di Jawa
Barat, yaitu pesantren Quro di Tanjung Pura, Karawang pada tahun 1428.[4]
Nama aslinya Syekh Quro
ialah Hasanuddin. Beberapa babad menyebutkan bahwa ia adalah muballigh
(penyebar agama} asal Mekkah, yang berdakwah di daerah Karawang. Ia diperkirakan
datang dari Champa
atau kini Vietnam selatan. Sebagian cerita menyatakan bahwa ia turut dalam
pelayaran armada Cheng Ho, saat armada tersebut tiba di daerah Tanjung
Pura, Karawang.
Syekh Quro sebagai guru
dari Nyai Subang Larang, anak Ki Gedeng Tapa penguasa Cirebon. Nyai
Subang Larang yang cantik dan halus budinya, kemudian dinikahi oleh Raden
Manahrasa dari wangsa Siliwangi, yang setelah menjadi raja Kerajaan Pajajaran bergelar Sri Baduga Maharaja. Dari pernikahan tersebut,
lahirlah Pangeran Kian Santang yang selanjutnya menjadi penyebar agama
Islam di Jawa Barat.
Makam Syekh Quro
terdapat di desa Pulo Kalapa, Lemahabang, Karawang.
Syekh
Datuk Kahfi adalah muballigh asal Baghdad memilih
markas di pelabuhan Muara Jati, yaitu kota Cirebon sekarang.
Ia bernama asli Idhafi Mahdi.
Majelis pengajiannya
menjadi terkenal karena didatangi oleh Nyai Rara Santang dan Kian Santang (Pangeran Cakrabuwana), yang merupakan
putra-putri Nyai Subang Larang dari pernikahannya dengan raja Pajajaran dari
wangsa Siliwangi. Di tempat pengajian inilah tampaknya Nyai Rara Santang
bertemu atau dipertemukan dengan Syarif Abdullah, cucu Syekh Maulana Akbar
Gujarat. Setelah mereka menikah, lahirlah Raden Syarif Hidayatullah kemudian hari dikenal
sebagai Sunan Gunung Jati.
Makam Syekh Datuk Kahfi
ada di Gunung Jati, satu komplek dengan makam Sunan Gunung Jati.
Syekh Khaliqul Idrus adalah seorang muballigh
Parsi yang berdakwah di Jepara. Menurut suatu penelitian, ia diperkirakan adalah Syekh
Abdul Khaliq, dengan laqob Al-Idrus, anak dari Syekh Muhammad Al-Alsiy yang wafat di Isfahan, Parsi.
Syekh Khaliqul Idrus di
Jepara menikahi salah seorang cucu Syekh Maulana Akbar yang kemudian melahirkan
Raden Muhammad Yunus. Raden Muhammad Yunus
kemudian menikahi salah seorang putri Majapahit hingga mendapat gelar Wong
Agung Jepara. Pernikahan Raden Muhammad Yunus dengan putri Majapahit di Jepara
ini kemudian melahirkan Raden Abdul Qadir yang menjadi menantu Raden Patah,
bergelar Adipati Bin Yunus atau Pati Unus. Setelah gugur di Malaka 1521, Pati Unus
dipanggil dengan sebutan Pangeran Sabrang Lor. [5]
Walaupun masih ada
pendapat yang menyebut Walisongo adalah keturunan Samarkand (Asia Tengah),
Champa atau tempat lainnya, namun tampaknya tempat-tampat tersebut lebih
merupakan jalur penyebaran para mubaligh daripada merupakan asal-muasal mereka
yang sebagian besar adalah kaum Sayyid atau Syarif. Beberapa argumentasi yang diberikan oleh Muhammad Al
Baqir, dalam bukunya Thariqah Menuju Kebahagiaan, mendukung bahwa Walisongo
adalah keturunan Hadramaut:
|
L.W.C van den Berg, Islamolog dan ahli hukum Belanda yang
mengadakan riset pada 1884-1886, dalam bukunya Le Hadhramout et les colonies
arabes dans l'archipel Indien (1886)[6]
mengatakan:
”Adapun hasil nyata
dalam penyiaran agama Islam (ke Indonesia) adalah dari orang-orang Sayyid
Syarif. Dengan perantaraan mereka agama Islam tersiar di antara raja-raja Hindu
di Jawa dan lainnya. Selain dari mereka ini, walaupun ada juga suku-suku lain
Hadramaut (yang bukan golongan Sayyid Syarif), tetapi mereka ini tidak
meninggalkan pengaruh sebesar itu. Hal ini disebabkan mereka (kaum Sayyid
Syarif) adalah keturunan dari tokoh pembawa Islam (Nabi Muhammad SAW).”
van den Berg juga
menulis dalam buku yang sama (hal 192-204):
”Pada abad ke-15, di
Jawa sudah terdapat penduduk bangsa Arab atau keturunannya, yaitu sesudah masa
kerajaan Majapahit yang kuat itu. Orang-orang Arab bercampul-gaul dengan penduduk,
dan sebagian mereka mempuyai jabatan-jabatan tinggi. Mereka terikat dengan
pergaulan dan kekeluargaan tingkat atasan. Rupanya pembesar-pembesar Hindu di
kepulauan Hindia telah terpengaruh oleh sifat-sifat keahlian Arab, oleh karena
sebagian besar mereka berketurunan pendiri Islam (Nabi Muhammad SAW).
Orang-orang Arab Hadramawt (Hadramaut) membawa kepada orang-orang Hindu pikiran
baru yang diteruskan oleh peranakan-peranakan Arab, mengikuti jejak nenek
moyangnya."
Pernyataan van den Berg
spesifik menyebut abad ke-15, yang merupakan abad spesifik kedatangan atau
kelahiran sebagian besar Walisongo di pulau Jawa. Abad ke-15 ini jauh lebih
awal dari abad ke-18 yang merupakan saat kedatangan gelombang berikutnya, yaitu
kaum
Hadramaut yang bermarga Assegaf, Al Habsyi, Al Hadad, Alaydrus, Alatas, Al
Jufri, Syihab, Syahab dan banyak marga Hadramaut lainnya.
Penamaan bahasa para
pedagang Muslim yang datang ke Asia Tenggara (terutama Malaka dan Nusantara)
dengan nama bahasa Malay (Melayu), yang mirip dengan penamaan bahasa para
pedagang dan mubaligh yang datang di abad ke-14 dan ke-15 dari pesisir India
Barat, yaitu Gujarat dan Malabar (sekarang termasuk negara bagian Kerala); yang
mempunyai bahasa Malayalam walaupun asal-usul mereka adalah keturunan dari
Hadramaut.
Hingga saat ini umat
Islam di Hadramaut sebagian besar bermadzhab
Syafi’i, sama seperti mayoritas di Srilangka, pesisir India Barat (Gujarat
dan Malabar), Malaysia dan Indonesia. Bandingkan dengan umat Islam di
Uzbekistan dan seluruh Asia Tengah, Pakistan dan India pedalaman (non-pesisir)
yang sebagian besar bermadzhab Hanafi.
Kesamaan dalam
pengamalan madzhab Syafi'i bercorak tasawuf dan mengutamakan Ahlul Bait;
seperti mengadakan Maulid,
membaca Diba & Barzanji, beragam Shalawat Nabi, doa Nur Nubuwwah dan banyak
amalan lainnya hanya terdapat di Hadramaut, Mesir, Gujarat, Malabar, Srilangka,
Sulu & Mindanao, Malaysia dan Indonesia. Kitab fiqh Syafi’i Fathul Muin
yang populer di Indonesia dikarang oleh Zainuddin Al Malabary dari Malabar, isinya
memasukkan pendapat-pendapat baik kaum Fuqaha maupun kaum Sufi. Hal tersebut
mengindikasikan kesamaan sumber yaitu Hadramaut, karena Hadramaut adalah sumber
pertama dalam sejarah Islam yang menggabungkan fiqh Syafi'i dengan pengamalan tasawuf dan
pengutamaan Ahlul
Bait.
Di abad ke-15,
raja-raja Jawa yang berkerabat dengan Walisongo seperti Raden Patah
dan Pati
Unus sama-sama menggunakan gelar Alam Akbar. Gelar tersebut juga merupakan
gelar yang sering dikenakan oleh keluarga besar Jamaluddin Akbar di Gujarat
pada abad ke-14, yaitu cucu keluarga besar Azhamat Khan (atau Abdullah Khan)
bin Abdul Malik bin Alwi, seorang anak dari Muhammad Shahib Mirbath ulama besar
Hadramaut abad ke-13. Keluarga besar ini terkenal sebagai mubaligh musafir yang
berdakwah jauh hingga pelosok Asia Tenggara, dan mempunyai putra-putra dan
cucu-cucu yang banyak menggunakan nama Akbar, seperti Zainal Akbar, Ibrahim
Akbar, Ali Akbar, Nuralam Akbar dan banyak lainnya.
|
Terdapat beberapa sumber tertulis masyarakat Jawa tentang
Walisongo, antara lain Serat Walisanga karya Ranggawarsita
pada abad
ke-19, Kitab Walisongo karya Sunan Dalem (Sunan Giri II) yang merupakan
anak dari Sunan
Giri, dan juga diceritakan cukup banyak dalam Babad
Tanah Jawi.
Mantan Mufti Johor
Sayyid `Alwî b. Tâhir b. `Abdallâh al-Haddâd (meninggal tahun 1962) juga
meninggalkan tulisan yang berjudul Sejarah perkembangan Islam di Timur Jauh
(Jakarta: Al-Maktab ad-Daimi, 1957). Ia menukil keterangan diantaranya dari
Haji `Ali bin Khairuddin, dalam karyanya Ketrangan kedatangan bungsu (sic!)
Arab ke tanah Jawi sangking Hadramaut.
Dalam penulisan sejarah
para keturunan Bani Alawi seperti al-Jawahir al-Saniyyah oleh Sayyid Ali bin
Abu Bakar Sakran, 'Umdat al-Talib oleh al-Dawudi, dan Syams al-Zahirah oleh
Sayyid Abdul Rahman Al-Masyhur; juga terdapat pembahasan mengenai leluhur Sunan
Gunung Jati, Sunan Ampel, Sunan Giri, Sunan Kudus, Sunan Bonang dan Sunan
Gresik.
D.
PROFILE WALISONGO
1.
Sunan Gresik
Sunan Gresik
atau Maulana Malik Ibrahim (w. 1419 M/882 H) adalah nama salah seorang Walisongo,
yang dianggap yang pertama kali menyebarkan agama Islam di tanah Jawa. Ia
dimakamkan di desa Gapura, kota Gresik, Jawa Timur.
Tidak terdapat bukti
sejarah yang meyakinkan mengenai asal keturunan Maulana Malik Ibrahim, meskipun
pada umumnya disepakati bahwa ia bukanlah orang Jawa asli. Sebutan
Syekh Maghribi yang diberikan masyarakat kepadanya, kemungkinan menisbatkan
asal keturunannya dari Maghrib, atau Maroko di Afrika Utara.
Babad
Tanah Jawi versi J.J. Meinsma menyebutnya dengan nama Makhdum Ibrahim
as-Samarqandy, yang mengikuti pengucapan lidah Jawa menjadi Syekh Ibrahim
Asmarakandi. Ia memperkirakan bahwa Maulana Malik Ibrahim lahir di Samarkand, Asia Tengah,
pada paruh awal abad 14.
Dalam keterangannya
pada buku The History of Java mengenai asal mula dan
perkembangan kota Gresik, Raffles menyatakan bahwa menurut penuturan para penulis
lokal, "Mulana Ibrahim, seorang Pandita terkenal berasal dari Arabia,
keturunan dari Jenal Abidin, dan sepupu Raja Chermen (sebuah negara Sabrang),
telah menetap bersama para Mahomedans lainnya di Desa Leran di Jang'gala".
Namun demikian,
kemungkinan pendapat yang terkuat adalah berdasarkan pembacaan J.P. Moquette
atas baris kelima tulisan pada prasasti makamnya di desa Gapura Wetan, Gresik;
yang mengindikasikan bahwa ia berasal dari Kashan, suatu tempat di Iran sekarang.
Terdapat beberapa versi
mengenai silsilah Maulana Malik Ibrahim. Ia pada umumnya dianggap merupakan
keturunan Rasulullah SAW; melalui jalur keturunan Husain
bin Ali, Ali Zainal Abidin, Muhammad
al-Baqir, Ja'far ash-Shadiq, Ali al-Uraidhi, Muhammad
al-Naqib, Isa ar-Rummi, Ahmad al-Muhajir, Ubaidullah, Alwi Awwal, Muhammad
Sahibus Saumiah, Alwi ats-Tsani, Ali Khali' Qasam, Muhammad Shahib Mirbath, Alwi Ammi
al-Faqih, Abdul Malik (Ahmad Khan), Abdullah (al-Azhamat) Khan, Ahmad Syah
Jalal, Jamaluddin Akbar al-Husain (Maulana Akbar), dan Maulana Malik Ibrahim.
Penyebaran agama
|
Maulana Malik Ibrahim dianggap termasuk salah seorang yang
pertama-tama menyebarkan agama Islam di tanah Jawa, dan merupakan wali senior
diantara para Walisongo
lainnya.[9] Beberapa versi babad menyatakan bahwa kedatangannya disertai beberapa orang.
Daerah yang ditujunya pertama kali ialah desa Sembalo, sekarang adalah daerah
Leran, Kecamatan Manyar, yaitu 9 kilometer ke arah utara
kota Gresik. Ia lalu mulai menyiarkan agama Islam di tanah Jawa bagian timur,
dengan mendirikan mesjid pertama di desa Pasucinan, Manyar.
Makam Maulana Malik
Ibrahim, desa Gapura, Gresik, Jawa Timur
Pertama-tama yang
dilakukannya ialah mendekati masyarakat melalui pergaulan. Budi bahasa yang
ramah-tamah senantiasa diperlihatkannya di dalam pergaulan sehari-hari. Ia
tidak menentang secara tajam agama dan kepercayaan hidup dari penduduk asli,
melainkan hanya memperlihatkan keindahan dan kabaikan yang dibawa oleh agama
Islam. Berkat keramah-tamahannya, banyak masyarakat yang tertarik masuk ke
dalam agama Islam.
Sebagaimana yang
dilakukan para wali awal lainnya, aktivitas pertama yang dilakukan Maulana
Malik Ibrahim ialah berdagang. Ia berdagang di tempat pelabuhan terbuka, yang
sekarang dinamakan desa Roomo, Manyar. Perdagangan membuatnya dapat
berinteraksi dengan masyarakat banyak, selain itu raja dan para bangsawan dapat
pula turut serta dalam kegiatan perdagangan tersebut sebagai pelaku jual-beli,
pemilik kapal atau pemodal.
Setelah cukup mapan di
masyarakat, Maulana Malik Ibrahim kemudian melakukan kunjungan ke ibukota Majapahit di
Trowulan. Raja Majapahit meskipun tidak masuk Islam tetapi menerimanya dengan
baik, bahkan memberikannya sebidang tanah di pinggiran kota Gresik. Wilayah
itulah yang sekarang dikenal dengan nama desa Gapura. Cerita rakyat tersebut
diduga mengandung unsur-unsur kebenaran; mengingat menurut Groeneveldt pada
saat Maulana Malik Ibrahim hidup, di ibukota Majapahit telah banyak orang asing
termasuk dari Asia Barat.
Demikianlah, dalam
rangka mempersiapkan kader untuk melanjutkan perjuangan menegakkan
ajaran-ajaran Islam, Maulana Malik Ibrahim membuka pesantren-pesantren yang
merupakan tempat mendidik pemuka agama Islam di masa selanjutnya. Hingga saat
ini makamnya masih diziarahi orang-orang yang menghargai usahanya menyebarkan
agama Islam berabad-abad yang silam. Setiap malam Jumat Legi, masyarakat
setempat ramai berkunjung untuk berziarah. Ritual ziarah tahunan atau haul juga
diadakan setiap tanggal 12 Rabi'ul Awwal, sesuai tanggal wafat pada prasasi makamnya.
Pada acara haul biasa dilakukan khataman Al-Quran, mauludan (pembacaan riwayat
Nabi Muhammad), dan dihidangkan makanan khas bubur harisah.
Menurut legenda rakyat,
dikatakan bahwa Maulana Malik Ibrahim berasal dari Persia. Maulana Malik
Ibrahim Ibrahim dan Maulana Ishaq disebutkan sebagai anak dari Maulana Jumadil
Kubro, atau Syekh Jumadil Qubro. Maulana Ishaq disebutkan
menjadi ulama terkenal di Samudera Pasai, sekaligus ayah dari Raden Paku atau Sunan Giri.
Syekh Jumadil Qubro dan kedua anaknya bersama-sama datang ke pulau Jawa.
Setelah itu mereka berpisah; Syekh Jumadil Qubro tetap di pulau Jawa,
Maulana Malik Ibrahim ke Champa, Vietnam Selatan; dan adiknya Maulana Ishak
mengislamkan Samudera Pasai.
Maulana Malik Ibrahim
disebutkan bermukim di Champa (dalam legenda disebut sebagai negeri Chermain atau
Cermin) selama tiga belas tahun. Ia menikahi putri raja yang memberinya dua
putra; yaitu Raden Rahmat atau Sunan Ampel
dan Sayid Ali Murtadha atau Raden Santri. Setelah cukup menjalankan misi dakwah
di negeri itu, ia hijrah ke pulau Jawa dan meninggalkan keluarganya. Setelah
dewasa, kedua anaknya mengikuti jejaknya menyebarkan agama Islam di pulau Jawa.
Maulana Malik Ibrahim
dalam cerita rakyat terkadang juga disebut dengan nama Kakek Bantal. Ia
mengajarkan cara-cara baru bercocok tanam. Ia merangkul masyarakat bawah, dan
berhasil dalam misinya mencari tempat di hati masyarakat sekitar yang ketika
itu tengah dilanda krisis ekonomi dan perang saudara.
|
Selain itu, ia juga sering mengobati masyarakat sekitar tanpa
biaya. Sebagai tabib, diceritakan bahwa ia pernah diundang untuk mengobati
istri raja yang berasal dari Champa. Besar kemungkinan permaisuri tersebut
masih kerabat istrinya.
Setelah selesai
membangun dan menata pondokan tempat belajar agama di Leran, tahun 1419 Maulana
Malik Ibrahim wafat. Makamnya kini terdapat di desa Gapura Wetan, Gresik, Jawa
Timur.
Inskripsi dalam bahasa
Arab yang tertulis pada makamnya adalah sebagai berikut:
Ini adalah makam
almarhum seorang yang dapat diharapkan mendapat pengampunan Allah dan yang
mengharapkan kepada rahmat Tuhannya Yang Maha Luhur, guru para pangeran dan
sebagai tongkat sekalian para Sultan dan Wazir, siraman bagi kaum fakir dan
miskin. Yang berbahagia dan syahid penguasa dan urusan agama: Malik Ibrahim
yang terkenal dengan kebaikannya. Semoga Allah melimpahkan rahmat dan ridha-Nya
dan semoga menempatkannya di surga. Ia wafat pada hari Senin 12 Rabi'ul Awwal
822 Hijriah.
Saat ini, jalan yang
menuju ke makam tersebut diberi nama Jalan Malik Ibrahim.
2.
Sunan Ampel
Sunan Ampel pada
masa kecilnya bernama Raden Rahmat, dan diperkirakan lahir pada tahun 1401 di Champa. Ada dua
pendapat mengenai lokasi Champa ini. Encyclopedia Van Nederlandesh Indie
mengatakan bahwa Champa adalah satu negeri kecil yang terletak di Kamboja. Pendapat
lain, Raffles
menyatakan bahwa Champa terletak di Aceh yang kini bernama Jeumpa. Menurut beberapa riwayat, orangtua Sunan Ampel adalah
Ibrahim Asmarakandi yang berasal dari Champa dan menjadi raja di sana.
Ibrahim Asmarakandi disebut juga sebagai Maulana Malik
Ibrahim. Ia dan adiknya, Maulana Ishaq adalah anak dari Syekh Jumadil Qubro.
Ketiganya berasal dari Samarkand, Uzbekistan, Asia Tengah.
Jadi, Sunan Ampel memiliki darah Uzbekistan dan Champa dari
sebelah ibu. Tetapi dari ayah leluhur mereka adalah keturunan langsung dari Ahmad
al-Muhajir, Hadhramaut. Bermakna mereka termasuk keluarga besar Saadah
BaAlawi.
Syekh Jumadil Qubro, dan kedua anaknya, Maulana Malik
Ibrahim dan Maulana Ishak bersama sama datang ke pulau Jawa. Setelah itu mereka
berpisah, Syekh Jumadil Qubro tetap di pulau Jawa, Maulana Malik Ibrahim ke
Champa, Vietnam Selatan, dan adiknya Maulana Ishak mengislamkan Samudra Pasai.
Di Kerajaan Champa, Maulana Malik Ibrahim berhasil mengislamkan
Raja Champa, yang akhirnya merubah Kerajaan Champa menjadi Kerajaan Islam.
Akhirnya dia dijodohkan dengan putri Champa, dan lahirlah Raden Rahmat. Di
kemudian hari Maulana Malik Ibrahim hijrah ke Pulau Jawa tanpa diikuti
keluarganya.
Sunan Ampel datang ke pulau Jawa pada tahun 1443, untuk menemui
bibinya, Dwarawati. Dwarawati adalah seorang putri Champa yang menikah dengan
raja Majapahit
yang bernama Prabu Kertawijaya.
Sunan Ampel menikah dengan Nyai Ageng Manila, putri seorang
adipati di Tuban
yang bernama Arya Teja. Mereka dikaruniai 4 orang anak, yaitu: Putri Nyai Ageng
Maloka, Maulana Makdum Ibrahim (Sunan
Bonang), Syarifuddin (Sunan Drajat) dan seorang putri yang kemudian menjadi
istri Sunan Kalijaga.
Pada tahun 1479, Sunan Ampel mendirikan Mesjid Agung Demak.
Sunan Ampel diperkirakan wafat pada tahun 1481 di Demak dan
dimakamkan di sebelah barat Masjid Ampel, Surabaya.
|
3.
Sunan Bonang
Sunan Bonang
dilahirkan pada tahun 1465,
dengan nama Raden Maulana Makdum Ibrahim. Dia adalah putra Sunan Ampel
dan Nyai Ageng Manila. Bonang adalah sebuah desa di kabupaten Jepara.
Sunan Bonang wafat pada
tahun 1525 M, dan
saat ini makam aslinya berada di Desa Bonang. Namun, yang sering diziarahi
adalah makamnya di kota Tuban. Lokasi makam Sunan Bonang ada dua karena
konon, saat beliau meninggal, kabar wafatnya beliau sampai pada seorang
muridnya yang berasal dari Madura. Sang murid sangat mengagumi beliau sampai
ingin membawa jenazah beliau ke Madura. Namun, murid tersebut tak dapat
membawanya dan hanya dapat membawa kain kafan dan pakaian-pakaian beliau. Saat
melewati Tuban, ada seorang murid Sunan Bonang yang berasal dari Tuban yang
mendengar ada murid dari Madura yang membawa jenazah Sunan Bonang. Mereka
memperebutkannya.
Ø Sunan
Bonang (Makdum Ibrahim) bin
Ø Sunan Ampel
(Raden Rahmat) Sayyid Ahmad Rahmatillah bin
Ø MaulanaMalik Ibrahim bin
Ø Syekh Jumadil Qubro (Jamaluddin Akbar Khan) bin
Ø Ahmad
Jalaludin Khan bin
Ø Abdullah
Khan bin
Ø Abdul
Malik Al-Muhajir (dari Nasrabad,India) bin
Ø Alawi
Ammil Faqih (dari Hadramaut) bin
Ø Muhammad Sohib Mirbath (dari Hadramaut) bin
Ø Ali
Kholi' Qosam bin
Ø Alawi
Ats-Tsani bin
Ø Muhammad
Sohibus Saumi'ah bin
Ø Alawi
Awwal bin
Ø Ubaidullah
bin
Ø Ahmad
al-Muhajir bin
Ø Isa
Ar-Rumi bin
Ø Muhammad
An-Naqib bin
Ø Ali
Uradhi bin
Ø Ja'afar
As-Sodiq bin
Ø Muhammad
Al Baqir bin
Ø Ali
Zainal 'Abidin bin
Ø Hussain
bin
Sunan Bonang banyak
menggubah sastra berbentuk suluk atau tembang tamsil. Antara lain Suluk Wijil yang
dipengaruhi kitab Al Shidiq karya Abu Sa'id Al Khayr. Sunan Bonang juga
menggubah tembang Tamba Ati (dari bahasa Jawa,
berarti penyembuh jiwa) yang kini masih sering dinyanyikan orang.
Apa pula sebuah karya
sastra dalam bahasa Jawa yang dahulu diperkirakan merupakan karya
Sunan Bonang dan oleh ilmuwan Belanda seperti Schrieke disebut Het Boek van Bonang atau buku (Sunan) Bonang.
Tetapi oleh G.W.J. Drewes, seorang pakar Belanda lainnya,
dianggap bukan karya Sunan Bonang, melainkan dianggapkan sebagai karyanya.
|
Sunan Bonang juga
terkenal dalam hal ilmu kebathinannya. Beliau mengembangkan ilmu (dzikir) yang
berasal dari Rasullah SAW, kemudian beliau kombinasi dengan kesimbangan
pernafasan yang disebut dengan rahasia Alif Lam Mim ( ا
Ù„ Ù… ) yang artinya hanya Allah SWT yang tahu. Sunan Bonang juga
menciptakan gerakan-gerakan fisik atau jurus yang Beliau ambil dari seni bentuk
huruf Hijaiyyah yang berjumlah 28 huruf dimulai dari huruf Alif dan diakhiri
huruf Ya'. Beliau menciptakan Gerakan fisik dari nama dan simbol huruf hijayyah
adalah dengan tujuan yang sangat mendalam dan penuh dengan makna, secara awam
penulis artikan yaitu mengajak murid-muridnya untuk menghafal huruf-huruf
hijaiyyah dan nantinya setelah mencapai tingkatnya diharuskan bisa baca dan
memahami isi Al-Qur'an. Penekanan keilmuan yang diciptakan Sunan Bonang adalah
mengajak murid-muridnya untuk melakukan Sujud atau Sholat dan dzikir. Hingga
sekarang ilmu yang diciptakan oleh Sunan Bonang masih dilestarikan di Indonesia
oleh generasinya dan diorganisasikan dengan nama Padepokan Ilmu Sujud Tenaga
Dalam Silat Tauhid Indonesia
4.
Sunan Drajat
Sunan Drajat
diperkirakan lahir pada tahun 1470. Nama kecilnya adalah Raden Qasim, kemudian mendapat gelar
Raden Syarifudin. Dia adalah putra dari Sunan Ampel,
dan bersaudara dengan Sunan Bonang.
Ketika dewasa, Sunan
Drajat mendirikan pesantren Dalem Duwur di desa Drajat, Paciran, Lamongan.
Sunan Drajat yang
mempunyai nama kecil Syarifudin atau raden Qosim putra Sunan Ampel dan terkenal
dengan kecerdasannya. Setelah menguasai pelajaran islam beliau menyebarkan
agama islam di desa Drajad sebagai tanah perdikan dikecamatan Paciran. Tempat
ini diberikan oleh kerajaan Demak. Ia diberi gelar Sunan Mayang Madu oleh Raden
Patah pada tahun saka 1442/1520 masehi Makam Sunan Drajat dapat ditempuh dari
surabaya maupun Tuban lewat Jalan Dandeles ( Anyer - Panarukan ), namun bila
lewat Lamongan dapat ditempuh 30 menit dengan kendaran pribadi.
Sunan Drajat bernama
keci I Syarifuddin atau Raden Qosim putra Sunan Ampel yang terkenal cerdas.
Setelah pelajaran Islam dikuasai, beliau mengambil tempat di desa Drajat
wilayah Kecamatan Paciran Kabupaten Daerah Tingkat II Lamongan sebagai pusat
kegiatan dakwahnya sekitar abad XV dan XVI Masehi. Beliau memegang kendali
keprajaan di wilayah perdikan Drajat sebagai otonom kerajaan Demak selama 36
tahun.
Beliau sebagai Wali
penyebar Islam yang terkenal sosiawan sangat memperhatikan nasib kaum fakir
miskin, terlebih dahulu mengusahakan kesejahteraan sosial baru memberikan
ajaran. Motivasi lebih ditekankan pada etos kerja keras, kedermawanan untuk
mengentas kemiskinan dan menciptakan kemakmuran. Usaha kearah itu menjadi lebih
mudah karena Sunan Drajat memperoleh kewenangan untuk mengatur wilayahnya yang
mempunyai otonomi.
Sebagai penghargaan
atas keberhasilannya menyebarkan agama Islam dan usahanya menanggulangi
kemiskinan dengan menciptakan kehidupan yang makmur bagi warganya, beliau
memperoleh gelar Sunan Mayang Madu dari Raden Patah Sultan Demak I pada tahun saka
1442 atau 1520 Masehi.
Wewarah pengentasan
kemiskinan Sunan Drajat kini terabadikan dalam sap tangga ke tujuh dari tataran
komplek Makam Sunan Drajat. Secara lengkap makna filosofis ke tujuh sap tangga
tersebut sebagai berikut :
Memangun resep teyasing
Sasomo (kita selalu membuat senang hati orang lain)
|
Jroning suko kudu eling Ian waspodo (didalam suasana riang
kita harus tetap ingat dan waspada)
Laksitaning subroto tan
nyipto marang pringgo bayaning lampah (dalam perjalanan untuk mencapai cita -
cita luhur kita tidak peduli dengan segala bentuk rintangan)
Meper Hardaning
Pancadriya (kita harus selalu menekan gelora nafsu - nafsu)
Heneng - Hening -
Henung (dalam keadaan diam kita akan memperoleh keheningan dan dalam keadaan
hening itulah kita akan mencapai cita - cita luhur).
Mulyo guno Panca Waktu
(suatu kebahagiaan lahir bathin hanya bisa kita capai dengan sholat lima waktu)
Menehono teken marang
wong kang wuto, Menehono mangan marang wong kang luwe, Menehono busono marang
wong kang wudo, Menehono ngiyup marang wongkang kodanan (Berilah ilmu agar
orang menjadi pandai, Sejahterakanlah kehidupan masyarakat yang miskin,
Ajarilah kesusilaan pada orang yang tidak punya malu, serta beri perlindungan
orang yang menderita)
Dalam sejarahnya Sunan
Drajat juga dikenal sebagai seorang Wali pencipta tembang Mocopat yakni
Pangkur. Sisa - sisa gamelan Singomengkoknya Sunan Drajat kini tersimpan di
Musium Daerah.
Untuk menghormati jasa
- jasa Sunan Drajat sebagai seorang Wali penyebar agama Islam di wilayah
Lamongan dan untuk melestarikan budaya serta bendabanda bersejarah
peninggalannya Sunan Drajat, keluarga dan para sahabatnya yang berjasa pada
penyiaran agama Islam, Pemerintah Daerah Lamongan mendirikan Musium Daerah
Sunan Drajat disebelah timur Makam. Musium ini telah diresmikan oleh Gubernur
KDH Tingkat I Jawa Timur tanggal 1 maret 1992.
Upaya Bupati Lamongan
R. Mohamad Faried, SH untuk menyelamatkan dan
melestarikan warisan sejarah bangsa ini mendapat dukungan penuh Gubernur Jawa Timur dengan alokasi dana APBD I
yaitu pada tahun 1992 dengan pemugaran Cungkup dan pembangunan Gapura Paduraksa senilai Rp. 98 juta dan anggaran
Rp. 100 juta 202 ribu untuk pembangunan kembali Masjid Sunan Drajat yang diresmikan oleh Menteri Penerangan RI tanggal 27 Juni 1993. Pada
tahun 1993 I 1994 pembenahan dan pembangunan Situs Makam Sunan Drajat
dilanjutkan dengan pembangunan pagar kayu berukir, renovasi paseban, bale rante
serta Cungkup Sitinggil dengan dana APBD I Jawa Timur sebesar RP. 131 juta yang
diresmikan Gubernur Jawa Timur M. Basofi Sudirman tanggal 14 Januari 1994.
5.
Sunan Kudus
Sunan Kudus
dilahirkan dengan nama Jaffar Shadiq. Dia adalah putra dari pasangan Sunan Ngudung, adalah panglima perang Kesultanan
Demak Bintoro, dan Syarifah, adik dari Sunan
Bonang. Sunan Kudus diperkirakan wafat pada tahun 1550.
Sunan Kudus pernah
menjabat sebagai panglima perang untuk Kesultanan Demak, dan dalam masa
pemerintahan Sunan Prawoto, dia menjadi penasihat bagi Arya
Penangsang. Selain sebagai panglima perang untuk Kesultanan Demak, Sunan
Kudus juga menjabat sebagai hakim pengadilan bagi Kesultanan Demak.
Dalam melakukan dakwah
penyebaran Islam
di Kudus, Sunan Kudus menggunakan sapi sebagai sarana penarik masyarakat untuk datang untuk
mendengarkan dakwahnya. Sunan Kudus juga membangun Menara Kudus yang merupakan
gabungan kebudayaan Islam
dan Hindu yang
juga terdapat Masjid yang disebut Masjid Menara Kudus.
|
Pada tahun 1530, Sunan Kudus mendirikan sebuah mesjid di desa Kerjasan, Kudus Kulon, yang kini terkenal dengan nama Masjid Agung Kudus dan masih bertahan hingga
sekarang. Sekarang Masjid Agung Kudus berada di alun-alun kota Kudus, Jawa Tengah.Peninggalan
lain dari Sunan Kudus adalah permintaannya kepada masyarakat untuk tidak
memotong hewan kurban sapi dalam perayaan Idul Adha
untuk menghormati masyarakat penganut agama Hindu dengan
mengganti kurban sapi dengan memotong kurban kerbau, pesan untuk
memotong kurban kerbau ini masih banyak ditaati oleh masyarakat Kudus hingga
saat ini.
6.
Sunan Giri
Sunan Giri adalah
nama salah seorang Walisongo dan pendiri kerajaan Giri Kedaton, yang berkedudukan di daerah Gresik, Jawa Timur.
Ia lahir di Blambangan
tahun 1442. Sunan
Giri memiliki beberapa nama panggilan, yaitu Raden Paku, Prabu Satmata, Sultan
Abdul Faqih, Raden Ainul Yaqin dan Jaka Samudra. Ia dimakamkan di desa Giri, Kebomas,
Gresik.
Silsilah
Beberapa babad
menceritakan pendapat yang berbeda mengenai silsilah Sunan Giri. Sebagian babad berpendapat
bahwa ia adalah anak Maulana Ishaq, seorang mubaligh yang datang dari Asia
Tengah atau Champa. Maulana Ishaq diceritakan menikah dengan Dewi Sekardadu,
yaitu putri dari Menak Sembuyu penguasa wilayah Blambangan pada masa-masa akhir
kekuasaan Majapahit.
Pendapat lainnya yang
menyatakan bahwa Sunan Giri juga merupakan keturunan Rasulullah SAW; yaitu
melalui jalur keturunan Husain bin Ali, Ali
Zainal Abidin, Muhammad al-Baqir, Ja'far ash-Shadiq, Ali al-Uraidhi, Muhammad
al-Naqib, Isa ar-Rummi, Ahmad al-Muhajir, Ubaidullah, Alwi Awwal, Muhammad
Sahibus Saumiah, Alwi ats-Tsani, Ali Khali' Qasam, Muhammad Shahib Mirbath, Alwi Ammi
al-Faqih, Abdul Malik (Ahmad Khan), Abdullah (al-Azhamat) Khan, Ahmad Syah
Jalal (Jalaluddin Khan), Jamaluddin Akbar al-Husaini (Maulana Akbar), Maulana
Ishaq, dan 'Ainul Yaqin (Sunan Giri). Umumnya pendapat tersebut adalah
berdasarkan riwayat pesantren-pesantren Jawa Timur, dan catatan nasab Sa'adah
BaAlawi Hadramaut.
Di masa kecilnya Sunan
Giri berguru kepada Sunan Ampel dan berkenalan dengan Sunan
Bonang. Disebutkan bahwa Sunan Giri dan Sunan Bonang kemudian bersama-sama
pergi belajar ke tanah Arab. Setelah kembali ke Jawa, ia kemudian mendirikan
sebuah pesantren
giri di sebuah perbukitan di desa Sidomukti, Kebomas. Dalam bahasa Jawa,
giri berarti gunung. Sejak itulah ia yang sebelumnya dikenal dengan nama Raden
'Ainul Yaqin, mulai dikenal masyarakat dengan sebutan Sunan Giri.
Pesantren Giri kemudian
menjadi terkenal sebagai salah satu pusat penyebaran agama Islam di Jawa, bahkan
pengaruhnya sampai ke Madura, Lombok, Kalimantan, Sulawesi, dan Maluku. Pengaruh Giri terus berkembang sampai menjadi kerajaan
kecil yang disebut Giri Kedaton, yang menguasai Gresik dan sekitarnya selama
beberapa generasi sampai akhirnya ditumbangkan oleh Sultan
Agung.
Terdapat beberapa karya
seni
tradisional Jawa yang sering dianggap berhubungkan dengan Sunan Giri,
diantaranya adalah permainan-permainan anak seperti Jelungan, Lir-ilir dan
Cublak Suweng; serta beberapa gending (lagu instrumental Jawa) seperti
Asmaradana dan Pucung.
7.
Sunan Kalijaga
|
Sunan
Kalijaga diperkirakan lahir pada tahun 1450 dengan nama Raden
Said. Dia adalah putra adipati Tuban yang bernama Tumenggung Wilatikta atau Raden Sahur. Nama
lain Sunan Kalijaga antara lain Lokajaya, Syekh Malaya, Pangeran Tuban, dan
Raden Abdurrahman. Berdasarkan satu versi masyarakat Cirebon, nama
Kalijaga berasal dari Desa Kalijaga di Cirebon. Pada saat Sunan Kalijaga
berdiam di sana, dia sering berendam di sungai (kali), atau jaga kali.
Dalam satu riwayat,
Sunan Kalijaga disebutkan menikah dengan Dewi Saroh binti Maulana Ishak, dan
mempunyai 3 putra: R. Umar Said (Sunan Muria),
Dewi Rakayuh dan Dewi Sofiah.
Ketika wafat, beliau
dimakamkan di Desa Kadilangu, dekat kota Demak (Bintara).
Makam ini hingga sekarang masih ramai diziarahi orang.
Masa hidup Sunan
Kalijaga diperkirakan mencapai lebih dari 100 tahun. Dengan demikian ia
mengalami masa akhir kekuasaan Majapahit (berakhir 1478), Kesultanan
Demak, Kesultanan Cirebon dan Banten,
bahkan juga Kerajaan Pajang yang lahir pada 1546 serta awal
kehadiran Kerajaan Mataram dibawah pimpinan Panembahan Senopati. Ia ikut pula merancang
pembangunan Masjid Agung Cirebon dan Masjid Agung Demak. Tiang "tatal"
(pecahan kayu) yang merupakan salah satu dari tiang utama masjid adalah kreasi
Sunan Kalijaga.
Dalam dakwah, ia punya
pola yang sama dengan mentor sekaligus sahabat dekatnya, Sunan
Bonang. Paham keagamaannya cenderung "sufistik berbasis
salaf" -bukan
sufi panteistik (pemujaan semata). Ia juga memilih kesenian dan kebudayaan
sebagai sarana untuk berdakwah.
Ia sangat toleran pada
budaya lokal. Ia berpendapat bahwa masyarakat akan menjauh jika diserang
pendiriannya. Maka mereka harus didekati secara bertahap: mengikuti sambil
mempengaruhi. Sunan Kalijaga berkeyakinan jika Islam sudah dipahami, dengan
sendirinya kebiasaan lama hilang. Tidak mengherankan, ajaran Sunan Kalijaga
terkesan sinkretis dalam mengenalkan Islam. Ia menggunakan seni ukir, wayang,
gamelan, serta seni suara suluk sebagai sarana dakwah. Beberapa lagu suluk ciptaannya yang
populer adalah Ilir-ilir dan Gundul-gundul Pacul. Dialah menggagas baju takwa,
perayaan sekatenan, garebeg maulud, serta lakon carangan Layang Kalimasada dan Petruk Dadi Ratu
("Petruk Jadi Raja"). Lanskap pusat kota berupa kraton, alun-alun
dengan dua beringin serta masjid diyakini pula dikonsep oleh Sunan Kalijaga.
Metode dakwah tersebut
sangat efektif. Sebagian besar adipati di Jawa memeluk Islam melalui Sunan
Kalijaga; di antaranya adalah adipati Pandanaran,
Kartasura,
Kebumen, Banyumas, serta
Pajang.
8.
Sunan Muria
Sunan Muria
dilahirkan dengan nama Raden Umar Said atau Raden Said. Menurut beberapa
riwayat, dia adalah putra dari Sunan
Kalijaga yang menikah dengan Dewi Soejinah, putri Sunan Ngudung.
Nama Sunan Muria
sendiri diperkirakan berasal dari nama gunung (Gunung
Muria), yang terletak di sebelah utara kota Kudus, Jawa Tengah,
tempat dia dimakamkan.
9.
Sunan Gunung Jati
Sunan Gunung Jati atau
Syarif Hidayatullah, lahir sekitar 1450 M, namun ada juga yang mengatakan bahwa beliau lahir pada
sekitar 1448 M.
Sunan Gunung Jati adalah salah satu dari kelompok ulama besar di Jawa bernama walisongo.
|
Sunan Gunung Jati bernama Syarif Hidayatullah, lahir sekitar
tahun 1450. Ayah
beliau adalah Syarif Abdullah bin Nur Alam bin Jamaluddin Akbar.
Jamaluddin Akbar adalah seorang Muballigh dan Musafir besar dari Gujarat, India yang sangat dikenal sebagai Syekh Maulana Akbar bagi kaum Sufi di tanah air. Syekh Maulana Akbar adalah putra Ahmad Jalal Syah putra Abdullah Khan putra Abdul Malik putra Alwi putra Syekh Muhammad Shahib Mirbath, ulama besar di Hadramaut, Yaman yang silsilahnya sampai kepada Rasulullah melalui cucu beliau Imam Husain.
Jamaluddin Akbar adalah seorang Muballigh dan Musafir besar dari Gujarat, India yang sangat dikenal sebagai Syekh Maulana Akbar bagi kaum Sufi di tanah air. Syekh Maulana Akbar adalah putra Ahmad Jalal Syah putra Abdullah Khan putra Abdul Malik putra Alwi putra Syekh Muhammad Shahib Mirbath, ulama besar di Hadramaut, Yaman yang silsilahnya sampai kepada Rasulullah melalui cucu beliau Imam Husain.
Ibunda Sunan Gunung
Jati adalah Nyai Rara Santang, seorang putri keturunan
Kerajaan Sunda, anak dari Sri Baduga Maharaja, atau dikenal juga sebagai Prabu
Siliwangi dari perkawinannya dengan Nyai Subang Larang. Makam dari Nyai Rara Santang bisa kita temui di dalam klenteng di
Pasar Bogor, berdekatan dengan pintu masuk Kebun Raya Bogor.
Silsilah
.Sunan Gunung Jati
Syarif Hidayatullah bin
.Abdullah bin
.Ali Nurul 'Alam
.Syaikh Jumadil Qubro
Jamaluddin Akbar Khan bin
.Ahmad Jalaludin Khan
bin
.Abdullah Khan bin
.Abdul Malik Al-Muhajir
(Nasrabad,India) bin
.Alawi Ammil Faqih
(Hadhramaut) bin
.Muhammad Sohib Mirbath (Hadhramaut)
.Ali Kholi' Qosam bin
.Alawi Ats-Tsani bin
.Muhammad Sohibus
Saumi'ah bin
.Alawi Awwal bin
.Ubaidullah bin
.Ahmad
al-Muhajir bin
.Isa Ar-Rumi bin
.Muhammad An-Naqib bin
.Ali Uradhi bin
.Ja'afar As-Sodiq bin
.Muhammad Al Baqir bin
.Ali Zainal 'Abidin bin
.Imam Hussain
Al-Husain putera Ali
bin Abu Tholib dan Fatimah Az-Zahro binti Muhammad Rasulullah.
.Sunan Gunung Jati
Syarif Hidayatullah
.Rara Santang
.Prabu Jaya Dewata bin Raden
Pamanah bin Rasa Prabu Siliwangi II
.Prabu Dewa Niskala
(Raja Galuh/Kawali)
.Niskala Wastu Kancana bin
Prabu Sliwangi I
.Prabu Linggabuana bin
Prabu Wangi (Raja yang tewas di Bubat)
Ibunda Syarif
Hidayatullah adalah Nyai Rara Santang putri Prabu
Siliwangi (dari Nyai Subang Larang) adik Kiyan Santang bergelar Pangeran Cakrabuwana yang
berguru kepada Syekh Datuk Kahfi, seorang Muballigh asal Baghdad bernama
asli Idhafi Mahdi.
Makam Nyai Rara Santang
bisa kita temui di dalam komplek KLENTENG di Pasar Bogor, di sebelah Kebun Raya
Bogor.
|
Pertemuan Rara Santang dengan Syarif Abdullah cucu Syekh
Mawlana Akbar masih diperselisihkan. Sebagian riwayat (lebih tepatnya mitos)
menyebutkan bertemu pertama kali di Mesir, tapi analisis yang lebih kuat atas dasar perkembangan
Islam di pesisir ketika itu, pertemuan mereka di tempat-tempat pengajian
seperti yang di Majelis Syekh Quro, Karawang (tempat belajar
Nyai Subang Larang ibunda dari Rara Santang) atau di Majelis Syekh Kahfi, Cirebon (tempat belajar
Kiyan Santang kakanda dari Rara Santang).
Syarif Abdullah cucu
Syekh Mawlana Akbar, sangat mungkin terlibat aktif membantu pengajian di
majelis-majelis itu mengingat ayahanda dan kakek beliau datang ke Nusantara
sengaja untuk menyokong perkembangan agama Islam yang telah dirintis oleh para
pendahulu.
Pernikahan Rara Santang
putri Prabu Siliwangi dan Nyai Subang Larang dengan Abdullah cucu Syekh Mawlana
Akbar melahirkan seorang putra yang diberi nama Raden Syarif Hidayatullah.
Raden Syarif
Hidayatullah mewarisi kecendrungan spiritual dari kakek buyutnya Syekh Mawlana
Akbar sehingga ketika telah selesai belajar agama di pesantren Syekh Kahfi
beliau meneruskan ke Timur Tengah. Tempat mana saja yang dikunjungi masih
diperselisihkan, kecuali (mungkin) Mekah dan Madinah karena ke 2 tempat itu wajib dikunjungi sebagai
bagian dari ibadah haji
untuk umat Islam.
Babad Cirebon
menyebutkan ketika Pangeran Cakrabuawana membangun kota Cirebon dan tidak
mempunyai pewaris, maka sepulang dari Timur Tengah Raden Syarif Hidayat
mengambil peranan mambangun kota Cirebon dan menjadi pemimpin perkampungan Muslim yang baru
dibentuk itu setelah Uwaknya wafat.
Memasuki usia dewasa
sekitar diantara tahun 1470-1480, beliau menikahi adik dari Bupati Banten
ketika itu bernama Nyai Kawunganten. Dari pernikahan ini beliau
mendapatkan seorang putri yaitu Ratu
Wulung Ayu dan Mawlana Hasanuddin yang kelak menjadi Sultan
Banten I.
Masa ini kurang banyak
diteliti para sejarawan hingga tiba masa pendirian Kesultanan
Demak tahun 1487 yang mana beliau memberikan andil karena sebagai anggota
dari Dewan Muballigh yang sekarang kita kenal dengan nama Walisongo.
Pada masa ini beliau berusia sekitar 37 tahun kurang lebih sama dengan usia Raden Patah
yang baru diangkat menjadi Sultan Demak I bergelar Alam Akbar Al Fattah. Bila
Syarif Hidayat keturunan Syekh Mawlana Akbar Gujarat dari pihak ayah, maka Raden
Patah adalah keturunan beliau juga tapi dari pihak ibu yang lahir di Campa.
Dengan diangkatnya
Raden Patah sebagai Sultan di Pulau Jawa bukan hanya di Demak, maka Cirebon
menjadi semacam Negara Bagian bawahan vassal state dari kesultanan Demak, terbukti dengan
tidak adanya riwayat tentang pelantikan Syarif Hidayatullah secara resmi
sebagai Sultan Cirebon.
Hal ini sesuai dengan
strategi yang telah digariskan Sunan Ampel, Ulama yang paling di-tua-kan di
Dewan Muballigh, bahwa agama Islam akan disebarkan di P. Jawa dengan Kesultanan
Demak sebagai pelopornya.
Setelah pendirian
Kesultanan Demak antara tahun 1490 hingga 1518 adalah masa-masa paling sulit,
baik bagi Syarif Hidayat dan Raden Patah karena proses Islamisasi secara damai
mengalami gangguan internal dari kerajaan Pakuan dan Galuh (di Jawa Barat) dan Majapahit (di
Jawa Tengah dan Jawa Timur) dan gangguan external dari Portugis yang
telah mulai expansi di Asia Tenggara.
|
Tentang personaliti dari Syarif Hidayat yang banyak dilukiskan
sebagai seorang Ulama kharismatik, dalam beberapa riwayat yang kuat, memiliki
peranan penting dalam pengadilan Syekh
Siti Jenar pada tahun 1508 di pelataran Masjid Demak. Beliau ikut
membimbing Ulama berperangai ganjil itu untuk menerima hukuman mati dengan
lebih dulu melucuti ilmu kekebalan tubuhnya.
Eksekusi yang dilakukan
Sunan Kalijaga akhirnya berjalan baik, dan dengan wafatnya Syekh Siti Jenar,
maka salah satu duri dalam daging di Kesultana Demak telah tercabut.
Raja Pakuan di awal
abad 16, seiring masuknya Portugis di Pasai dan Malaka, merasa mendapat sekutu
untuk mengurangi pengaruh Syarif Hidayat yang telah berkembang di Cirebon dan
Banten. Hanya Sunda Kelapa yang masih dalam kekuasaan Pakuan.
Di saat yang genting
inilah Syarif Hidayat berperan dalam membimbing Pati Unus
dalam pembentukan armada gabungan Kesultanan Banten, Demak, Cirebon di P. Jawa
dengan misi utama mengusir Portugis dari wilayah Asia Tenggara. Terlebih dulu
Syarif Hidayat menikahkan putrinya untuk menjadi istri Pati Unus yang ke 2 di
tahun 1511.
Kegagalan expedisi
jihad II Pati Unus yang sangat fatal di tahun 1521 memaksa Syarif Hidayat
merombak Pimpinan Armada Gabungan yang masih tersisa dan mengangkat Tubagus Pasai (belakangan dikenal dengan nama Fatahillah),untuk
menggantikan Pati Unus yang syahid di Malaka, sebagai Panglima berikutnya dan
menyusun strategi baru untuk memancing Portugis bertempur di P. Jawa.
Sangat kebetulan karena
Raja Pakuan telah resmi mengundang Armada Portugis datang ke Sunda Kelapa
sebagai dukungan bagi kerajaan Pakuan yang sangat lemah di laut yang telah
dijepit oleh Kesultanan Banten di Barat dan Kesultanan Cirebon di Timur.
Kedatangan armada
Portugis sangat diharapkan dapat menjaga Sunda Kelapa dari kejatuhan berikutnya
karena praktis Kerajaan Hindu Pakuan tidak memiliki lagi kota pelabuhan di P.
Jawa setelah Banten dan Cirebon menjadi kerajaan-kerajaan Islam.
Tahun 1527 bulan Juni Armada
Portugis datang dihantam serangan dahsyat dari Pasukan Islam yang telah
bertahun-tahun ingin membalas dendam atas kegagalan expedisi Jihad di Malaka 1521.
Dengan ini jatuhlah
Sunda Kelapa secara resmi ke dalam Kesultanan Banten-Cirebon dan di rubah nama
menjadi Jayakarta
dan Tubagus Pasai mendapat gelar Fatahillah.
Perebutan pengaruh
antara Pakuan-Galuh dengan Cirebon-Banten segera bergeser kembali ke darat.
Tetapi Pakuan dan Galuh yang telah kehilangan banyak wilayah menjadi sulit menjaga
keteguhan moral para pembesarnya. Satu persatu dari para Pangeran, Putri Pakuan
di banyak wilayah jatuh ke dalam pelukan agama Islam. Begitu pula sebagian
Panglima Perangnya.
Satu hal yang sangat
unik dari personaliti Syarif Hidayat adalah dalam riwayat jatuhnya Pakuan
Pajajaran, ibu kota Kerajaan Sunda pada tahun 1568 hanya setahun
sebelum beliau wafat dalam usia yang sangat sepuh hampir 120 tahun (1569). Diriwayatkan
dalam perundingan terakhir dengan para Pembesar istana Pakuan, Syarif Hidayat
memberikan 2 opsi.
Yang pertama Pembesar
Istana Pakuan yang bersedia masuk Islam akan dijaga kedudukan dan martabatnya
seperti gelar Pangeran, Putri atau Panglima dan dipersilakan tetap tinggal di
keraton masing-masing. Yang ke dua adalah bagi yang tidak bersedia masuk Islam
maka harus keluar dari keraton masing-masing dan keluar dari ibukota Pakuan
untuk diberikan tempat di pedalaman Banten wilayah Cibeo sekarang.
|
Dalam perundingan terakhir yang sangat menentukan dari riwayat
Pakuan ini, sebagian besar para Pangeran dan Putri-Putri Raja menerima opsi ke
1. Sedang Pasukan Kawal Istana dan Panglimanya (sebanyak 40 orang) yang
merupakan Korps Elite dari Angkatan Darat Pakuan memilih opsi ke 2. Mereka
inilah cikal bakal penduduk Baduy Dalam sekarang yang terus menjaga anggota
pemukiman hanya sebanyak 40 keluarga karena keturunan dari 40 pengawal istana
Pakuan. Anggota yang tidak terpilih harus pindah ke pemukiman Baduy Luar.
Yang menjadi perdebatan
para ahli hingga kini adalah opsi ke 3 yang diminta Para Pendeta Sunda
Wiwitan. Mereka menolak opsi pertama dan ke 2. Dengan kata lain mereka
ingin tetap memeluk agama Sunda Wiwitan (aliran Hindu di wilayah Pakuan) tetapi
tetap bermukim di dalam wilayah Istana Pakuan.
Sejarah membuktikan
hingga penyelidikan yang dilakukan para Arkeolog asing ketika masa penjajahan
Belanda, bahwa istana Pakuan dinyatakan hilang karena tidak ditemukan sisa-sisa
reruntuhannya. Sebagian riwayat yang diyakini kaum Sufi menyatakan dengan
kemampuan yang diberikan Allah karena doa seorang Ulama yang sudah sangat sepuh
sangat mudah dikabulkan, Syarif Hidayat telah memindahkan istana Pakuan ke alam
ghaib sehubungan dengan kerasnya penolakan Para Pendeta Sunda Wiwitan untuk tidak
menerima Islam ataupun sekadar keluar dari wilayah Istana Pakuan.
Bagi para sejarawan
beliau adalah peletak konsep Negara Islam modern ketika itu dengan bukti
berkembangnya Kesultanan Banten sebagi negara maju dan makmur mencapai
puncaknya 1650 hingga 1680 yang runtuh hanya karena pengkhianatan seorang
anggota istana yang dikenal dengan nama Sultan Haji.
Dengan segala jasanya
umat Islam di Jawa Barat memanggil beliau dengan nama lengkap Syekh Mawlana
Syarif Hidayatullah Sunan Gunung Jati Rahimahullah.
Dari: http://en.wikipedia.org/
Downloadnya Mudah kan...???
BalasHapus